Mulai dari memperbanyak kegiatan training paralegal, masuk
ke komunitas-komunitas, dan menjalin kerja sama dengan advokat pro bono PERADI.
Tercatat, KDRT masih mendominasi.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa disebut dengan
KDRT masih mendominasi angka dalam catatan penanganan kasus dan advokasi yang
dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, sepanjang tahun 2015
lalu. KDRT menempati urutan pertama kasus yang paling banyak masuk dengan
jumlah persentase mencapai mendekati angka 70 persen.
Tim pelayanan hukum LBH APIK Jakarta yang diwakili oleh Iit
Rahmatin mengatakan, bahwa hal ini bukan merupakan fenomena baru. “Kita bisa
lihat kalau dominasi tertinggi di tahun 2015 adalah KDRT. Tetapi sebenarnya ini
ngga baru, ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya,” katanya, Kamis
(28/4).
Diiringi dengan banyaknya kasus yang terjadi, Iit
mengatakan, muncul persoalan lain yakni tak sebandingnya supply bantuan hukum
yang ada. “Perempuan korban, terutama yang berasal dari rakyat miskin atau
termarjinalkan ini akses terhadap keadilannya masih sulit,” ujarnya.
Bahkan, dukungan pemerintah kepada organisasi bantuan hukum
juga masih kurang, sehingga bantuan hukum pun masih minim. “Bantuan hukum yang
ada juga belum memberikan solusi karena dukungan pemerintah masih minim.
Dukungan pemerintah kepada OBH (organisasi bantuan hukum, red) masih kurang
sehingga untuk membantu korban juga dari advokat masih sangat minim yang respon
ya. Masih ada keterbatasan peran dan jumlah advokat,” katanya.
Atas dasar itu, LBH APIK berupaya mendekatkan bantuan hukum
pada masyarakat miskin dengan cara memperbanyak kegiatan training paralegal,
masuk ke komunitas-komunitas, dan menjalin kerja sama dengan advokat pro bono
yang berada di bawah kontrol Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
“Sejak beberapa waktu lalu kita sudah mulai bekerja sama
dengan PERADI. Kita saat itu sudah bertemu dengan Pak Rivai (Ketua PBH PERADI
Rivai Kusumanegara),” kata Direktur LBH APIK Ratna Bantara Munti menimpali.
Dalam konferensi pers yang digelar bersamaan dengan diskusi
bertajuk ‘Mendorong Tanggung Jawab Negara untuk Pemenuhan Hak Perempuan atas
Bantuan Hukum dan Akses terhadap Keadilan’, Iit menuturkan, secara keseluruhan
angka penanganan kasus dan advokasi untuk perempuan-perempuan yang mencari
keadilan melalui bantuan LBH APIK turun jika dibandingkan tahun lalu. Pada
tahun 2014, jumlahnya mencapai 709, sedangkan 2015 turun menjadi 573.
Meski begitu, LBH APIK tak jarang masih menemui kendala
dalam melakukan penanganan kasus dan advokasi baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Di satu sisi LBH APIK mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang
memberikan hukum di bidang formil dan materil, tetapi di sisi lain mereka pun
menyayangkan karena kebijakan tersebut belum diimplementasikan dengan baik oleh
para otoritas.
“Perubahan kebijakan belum optimal diimplementasikan.
Koordinasi antara kementerian terkait dengan aparat penegak hukum pun belum
berjalan secara efektif di dalam implementasi kebijakan ini. Ada titik singgung
yang tidak sinergis antara aparat penegak hukum yang satu dengan yang lainnya,”
curhatnya.
Berdasarkan data yang dapat diakses di www.lbh-apik.or.id,
setidaknya selama tiga tahun terakhir ini memang angka korban KDRT memang
selalu menempati posisi puncak. Pada tahun 2013, persentase laporan KDRT yang
masuk ke LBH APIK Jakarta berjumlah 43,15 persen. Selanjutnya, di tahun 2014
jumlahnya mencapai 74 persen.
Di tahun 2015 lalu, Iit menyebutkan, angka 69,1 persen untuk
KDRT setara dengan 369 korban. Rinciannya, 89 orang menjadi korban kekerasan
fisik, 90 orang merupakan korban kekerasan psikis, 54 orang ditelentarkan
begitu saja, dan 131 orang menjadi korban atas beberapa perbuatan sekaligus.
Dikutip dari catatan tahunan LBH APIK, meski angka-angka di
atas tidak bisa dijadikan cerminan besaran fakta yang terjadi, namun sebagai
wilayah penyumbang angka terbesar dalam kasus perempuan berdasarkan menurut
laporan yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) bisa dibilang besar. Sayangnya, walaupun jumlahnya besar, tetapi
ternyata hanya sedikit yang melaporkan aduannya itu ke kepolisian. “Sisanya
diselesaikan secara kekeluargaan atau dengan perceraian saja,” katanya
Menyusul di belakang KDRT, beberapa kasus yang juga kerap terjadi pada klien yang meminta
pertolongan kepada lembaga yang berkantor di Jalan Raya Tengah, Kramat Jati,
Jakarta Timur itu, ada pelanggaran hak dasar, kasus perdata keluarga, kekerasan
dalam pacaran (KDP), kekerasan seksual, pidana umum, perdata umum, dan
kasus-kasus lain yang tidak masuk dalam klasifikasi sebelumnya.
Sumber: Hukum Online