PERNYATAAN SIKAP LBH APIK JAKARTA ATAS PERKARA NO 5/PID.SUS-ANAK/2018/PN MBN DALAM PERKARA WA (ANAK KORBAN PERKOSAAN YANG DIVONIS 6 BULAN PENJARA)

PERNYATAAN SIKAP LBH APIK JAKARTA ATAS PERKARA NO 5/PID.SUS-ANAK/2018/PN MBN DALAM PERKARA WA   (ANAK  KORBAN PERKOSAAN YANG DIVONIS 6 BULAN PENJARA)

Hadiah Hari Anak Indonesia 2018 dikejutkan dengan kabar divonisnya seorang anak perempuan yang menjadi korban perkosaan incest dari kakaknya sendiri. Wa (15 tahun) divonis bersalah karena melakukan aborsi dan melanggar pasal 77 a juncto pasal 45 A UU Perlindungan Anak.

LBH Apik Jakarta memandang kasus WA ini sebagai kasus yang harus dilihat dalan konteks pemenuhan Hak  Anak Berhadapan Hukum (ABH), baik sebagai korban sekaligus pelaku.

Wa sebagai korban incest kakak kandungnya menunjukkan anak tidak lagi memiliki tempat yang aman di rumah. Karena kekerasan seksual justru dilakukan oleh anggota keluarga dan orang terdekat anak. Dalam posisi ini, anak dalam posisi sangat lemah untuk menolak, melawan atau mengadukan kekerasan seksual yg dialaminya.

Kami menilai vonis terhadap WA dan ibunya tidak adil. Putusan ini menunjukkan hakim tidak mempunyai perspektif terhadap anak korban kekerasan seksual dan hak perempuan atas kesehatan reproduksi.  Sebagai korban perkosaan seharusnya ia mendapatkan haknya untuk mendapatkan penanganan aborsi yang aman yang dilakukan sesuai dengan UU Kesehatan, yakni dilakukan melalui proses konseling pra dan paska tindakan dengan konselor yang kompeten (Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan). Dalam kasus WA, hak-hak korban ini sama sekali tidak terpenuhi, justru yang terjadi WA dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan aborsi tidak sesuai dengan prosedur. Posisi WA sebagai anak yang mengalami trauma harusnya dibantu untuk mengakses hak-hak kesehatan reproduksinya. Kondisi ini harusnya menjadi keprihatinan bersama khususnya bagi pihak-pihak terkait yang memiliki tanggungjawab, bukan malah memberikan dukungan atas kriminalisasi anak korban.

Oleh karena itu, Kami sangat  menyayangkan adanya pernyatan salah satu komisioner KPAI yang menyampaikan “ jika koban mengaborsi tidak sesuai dengan standar, maka pidananya setengah dari hukuman orang dewasa” ujarnya disalah satu media nasional.

Kami juga sangat keberatan dengan proses peradilan yang dialami WA karena sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban. Majelis Hakim belum mengacu pada Peraturan Mahmakah Agung RI No 3 tahun 2017 tentang Pedoman  Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Selain itu karena  korban adalah anak harusnya penanganannya mengacu pada UU PA. Dalam konsideran tentang Peradilan Anak, menjelaskan Perlindungan anak sangat penting, terutama dalam proses peradilan anak agar walaupun anak sedang menjalani proses peradilan, anak tetap memperoleh hak-haknya sebagai seorang Anak yang dilindungi oleh Negara. Hak-hak anak sebagai korban antara lain hak untuk mendapatkan bantuan hukum, pemulihan dari trauma serta rehabilitasi psikososial.

Kasus yang dialami WA bukan satu-satunya. LBH APIK Jakarta pada tahun 2017 menagani 39 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dan 3 diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diketahui serta tidak dikehendaki dan menjadi masalah hukum. Salah satunya  seorang anak  BL (16 tahun) korban perkosaan yang dituntut 8 tahun penjara karena dituduh melakukan aborsi atau tindak pidana pembunuhan terhadap bayi. BL sudah memeriiksakan diri ke dokter, namun dokter hanya menyatakan ia mengalami sakit perut maag. Dalam kasus BL ini, Majelis Hakim telah  memutuskan BL menjalani  rehabilitasi 1 tahun 6 bulan, dengan pertimbangan  kondisi anak sebagai korban perkosaan dan tidak memahami soal kehamilannya. 

Dalam kasus WA maupun BL, kematian bayi yang dihasilkan dari perkosaan, merupakan salah satu bentuk dampak fatal dari kekerasan seksual, dimana korban tidak mendapatkan haknya atas penegakan hukum dan pemulihan (WHO). 
Selain itu, ketidaktahuan perempuan akan kehamilannya, menurut ahli Kesehatan Reproduksi DR. Budi Wahyuni yang juga menjadi ahli dalam kasus ini menyatakan bahwa “ Sangat dimungkinkan pada zaman ini masih ada anak yang tidak mengerti mengenai kehamilan karena tidak pernah ada informasi tentang itu. Pendidikan kesehatan reproduksi masih terus diperdebatkan, dan anak-anak akhirnya mendapatkan informasi yang tidak benar, misalkan kalau masih mentruasi berarti tidak hamil. Padahal kehamilan hanya bisa dibuktikan dengan tes urin dan USG.”, menjelaskan bahwa perempuan apalagi anak-anak sangat mungkin tidak mengetahui kehamilannya.

Berdasarkan kondisi diatas, LBH APIK Jakarta menyatakan sangat prihatin dan menuntut , sebagai berikut :

1. Meminta kepada pemerintah dan lembaga-lembaga Negara terkait agar  segera memenuhi hak  WA untuk mendapatkan rehabilitasi serta akses keadilan sebagai anak korban kekerasan seksual.

2. Aparat Penegak Hukum agar memiliki perspektif hak anak, dan mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak. Penjara bukan pilihan terbaik untuk anak, apalagi korban kekerasan seksual.

3. Sidang Pidana Anak seharusnya tidak hanya sebatas formalitas saja, namun harus dilaksanakan dengan semangat keadilan restorative.

4. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung agar melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada Hakim Anak, untuk melaksanakan persidangan yang ramah anak.

5. Mahkamah Agung agar mengimplementasikan PERMA NO 3 Tahun 2017 tentang perempuan berhadapan dengan Hukum.

6. Pemerintah dan DPR, supaya memasukan kondisi korban kekerasan seksual sebagai salah satu alasan yang meringankan dalam hal korban menjadi tersangka tindak pidana yang berkaitan langsung dengan kekerasan seksual yang dialaminya.

7. Agar DPR segera melakukan pembahasan dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan seksual agar tidak semakin banyak korban Perkosaan mendapatkan keadilan dan tidak kembali mengalami korban berulang.

LBH Apik Jakarta
cp : zuma 0821-2591-2789, Veni Siregar 0838-9344-5587
Uli Pangaribuan: 0813-1482-5052

Subscribe Text

Untuk selalu terhubung dengan kami