Siaran Press LBH
Apik Jakarta
No. 80 /SK/ III/YLBH
APIK-Jkt/2018
Kriminalisasi
Kasus Perempuan Hamil
Dua puluh tahun setelah
rezim otoritarian orde baru tumbang, ternyata jejak otorianisme masih lekat
dalam kehidupan kita, termasuk penggunaan kekuasaan untuk mengkriminalisasikan
seseorang. Hal ini menimpa FT (22), perempuan single parent yang
menghidupi anak berumur 2 tahun dan sedang hamil 7 bulan anaknya yang
kedua, yang tidak menyangka upayanya mencari nafkah dengan berjualan
batik secara online berbuah penangkapan dan penahanan.
FT memiliki usaha BATIK
untuk menghidupi keluarganya sejak tahun. 2012 Atas usahanya
untuk mempromosikan batik ini mendapatkan penghargaan dari Kementrian
Perindustrian pada tahun 2018. Awalnya FT memiliki kios di
Thamrin City Mall, namun karena harga kios yang mahal, FT beralih menggunakan
media media social yaitu Facebook.
FTmempromosikan garage
sales untuk baju-baju batiknya, dan menerima pesanan dari DW yang
merupakan isteri Jendral berbintang satu yang
memesan 10 baju batik senilai Rp. 2,5 juta rupiah. Namun, sampai
pada tenggat waktu pengiriman barang FT tidak sanggup memenuhi pesanan dan
bersedia mengembalikan dana pemesanan. DW mengultimatum FT untuk mengembalikan
dana pemesanan dalam waktu 1 jam setelah pembatalan tersebut. Walau
keluarga FT bersedia mengembalikan uang tersebut, DW melaporkan FT
dengan tuduhan melakukan Penipuan dan Penggelapan.
Polisi bertindak cepat dengan menangkap dan menahan FT.
FT langsung dibawa ke
Polsek Pinang Ranti, dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru dan selanjutnya
dipindahkan ke Polsek Pondok Gede untuk BAP, dan dilakukan
penahanan pada 04 Mei 2018 dan dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu. FT telah
menandatanggani surat kesanggupannya untuk mengembalikan dana
tersebut.
LBH Apik Jakarta
mendapati kasus ini ketika memberikan penyuluhan hukum di Rutan Pondok Bambu.
Melalui proses pendampingan dan investigasi. Relasi kuasa yang timpang antara
FT dan DW yang mempergunakan jabatan suaminya yang Jenderal,
menggambarkan arogansi seseorang dan penggunaan kuasa untuk mempengaruhi proses
penegakan hokum. Sikap otoritarian dalam kasus ini terjadi dalam beberapa
peristiwa yang dapat diduga merupakan pelanggaran terhadap prinsip fair
trial (peradilan yang adil dan tidak memihak). Yaitu sebagai berikut :
1.
Penjemputan FT dari
rumah tinggalnya bukan dilakukan oleh pihak pihak kepolisian namun
oleh orang yang mengaku ajudan Pelapor sehingga menjadi intimidasi bagi
Terlapor dan keluarganya.
2.
Proses mediasi yang dijanjikan oleh Pelapor di Polsek, yang
terjadi justru penahanan, bahkan FR berkali – kali pindah Polsek, tanpa
mengerti mengapa hal itu terjadi. FR mendapatkan surat penahanan pada tanggal
04 Mei 2018 dari Polsek Pondok Gede, sementara sebelumnya FT dibawa
ke Polsek Pinang Ranti, Polsek Kebayoran.
3.
FT tidak
mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan tanggal 06 Juni 2018
ketika LBH Apik memberikan penyuluhan di Rutan. Padahal kondisinya yang buta
hokum, rentan dan tengah hamil membutuhkan bantuan hokum untuk memastikan
hak-haknya terpenuhi;
4.
Penyidik tidak cermat
dalam menganalisa peristiwa hukum. Pengenaan pasal-pasal pidana terhadap
sesorang haruslah diperhatikan dengan cermat oleh penyidik, karena azas hukum
pidana adalah ‘ultimum remedium’, bukan sebaliknya, menggunakan hukum
pidana sebagai senjata untuk menekan seseorang atau
memenuhi kepentingan seseorang;
5.
Penerapan Hukum
Pidana terhadap kasus FT merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik
seseorang, dimana seseorang tidak boleh dipenjara lantaran gagal
memenuhi prestasi dalam perjanjian.
Selanjutnya kami menilai
bahwa masuknya hukum pidana dalam hubungan kontraktual antara individu ataupun
antara entitas bisnis menunjukan kediktatoran dan kesewenangan negara dalam
proses penegakan hukum bahkan melampaui dimensi hukum yang berbeda tanpa
menghiraukan kompetensi hukumnya masing-masing. Penegasan ini merupakan bagian
dari kritik kami terhadap proses penegakan hukum yang tidak tertib hukum
sehinggah tersanderanya kepastian hukum, keadilan dan ketertiban umum secara
bersamaan. Selain itu, intervensi hukum pidana pada Hukum Perdata merupakan
pelanggaran hak Individu/badan hukum sebagai subyek hukum
karena dengan adanya penangkapan menyebabkan berubahnya situasi dan
kondisi psikis para pihak yang memiliki itikad baik melaksanakan kontrak.
Untuk memenuhi itikad
baik FT untuk melaksanakan prestasinya, LBH Apik Jakarta menggalang
#koinuntukFT,#koinkeadilan sampai mencapai jumlah Rp. 2,5 juta untuk diserahkan
kepada DW.
Kami juga menuntut
hal-hal sebagai berikut :
1. Mendesak
POLRI menerbitkan panduan untuk para penyidik dalam memeriksa perkara perkara
keperdataan, sehingga tidak menggunakan hokum pidana sebagai mekanisme
penyelesaiannya. Penggunaan hukum pidana untuk kasus-kasus perdata bernilai
hanya 2,5 juta akan memberatkan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dalam bekerja;
2. Menuntut
seluruh lembaga penegak hukum, yang memiliki kewenangan penahanan untuk
memastikan perempuan yang berhadapan dengan hukum tidak dalam kondisi hamil.
Hal ini menjadi penting untuk memberikan perlindungan kepada anak yang
dikandung;
3. Mendesak
kepada BPHN untuk memperluas cakupan penerima dana bantuan hukum,
tidak hanya pada seseorang miskin ekonomi, namun juga perempuan dan anak
sebagai bagian dari kelompok rentan di Indonesia;
4. Meminta
pengadilan memastikan persidangan kasus ini independent dan bebas dari
intimidasi.
Demikian siaran pers ini
kami sampaikan. Atas perhatiaan dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
Jakarta 16 Agustus 2018
LBH APIK Jakarta
Tim Kuasa Hukum FT
Cp: 0813 1482-5052,
082125912789