“Korban Diam Tak Mendapat Keadilan, Koban Bicara Masuk
Penjara”
Desak Negara
Mewujudkan Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual!!!
Pada 7 November 2018, khalayak dikejutkan
dengan putusan kasasi yang mempidanakan perempuan korban Kekerasan seksual atas
nama Baiq Nuril Maqnun yang bekerja sebagai Guru Honorer di SMAN 7 Mataram oleh
Mahkamah Agung (MA). Ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan divonis enam bulan penjara serta
kewajiban membayar denda sebesar Rp 500 juta. Nuril dianggap terbukti oleh MA
telah melakukan penyebaran percakapan kepala sekolah SMU 7 Mataram. Padahal,Nuril
diputus bebas dan tidak terbukti bersalah
oleh Majlis Hakim yg memerika perkara ditingkat Pengadilan Negeri
Mataram pada tanggal 26 Juli 2017 dengan Nomor putusan Putusan PN Mataram No
265/Pid.sus/2017/PN.MTR .Putusan
PN tidak dijadikan pertimbangan MA dalam membuat putusan.
Preseden buruk ini akan semakin menguatkan
korban enggan melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya karena kawatir
akan mengalami nasib serupa Nuril. Apa yang dialami oleh Nuril rentan dialami
oleh perempuan korban yang lain. Korban kekerasan seksual akan semakin bungkam
karena tidak mendapatkan perlakukan adil dari aparat penegak hukum. Relasi
kuasa korban dengan pelaku, sulitnya pembuktian dan saksi, selama ini menjadi
kendala dalam penangan kasus kekerasan seksual’
Mirisnya, kasus Baiq Nurilini tidak melihat
aspek sebagai korban kekerasan seksual menjadi pertimbangan hakim MA. Kekerasan
seksual yang dialami Baiq Nuril dapat dicermati dari kronologis kasusnya, bahwa pelaku berulang kali menelpon Baiq Nuril dengan
nada yang melecehkan secara seksual. Merasa tidak nyaman, maka Baiq Nuril berinisiatif merekam pembicaraan tersebut
sebagi bukti bahwa secara harkat dan martabat telah direndahkan oleh pelaku.Pelaku yang tidak terima karena
percakapannya direkam kemudian melaporkan korban Kasus Kekerasan seksual yang
dialami oleh Korban kemudian dilaporkan ke Polda NTB dengan No laporan:
334/XI/2018/NTB/SPKT pada tanggal 19 November 2018. Perlu dipahami bahwa kekerasan
seksual yang dilakukan oleh
kepala sekolah semakin memperburuk citra
lembaga pendidikan serta berdampak buruk pada murid serta guru-guru yang
lain.
Koalisi Perempuan untuk Keadilan Ibu Nuril
memandang Putusan terhadap nuril tidak adil, diskriminatif dan bias gender. Kasus
ini bermuatan relasi kuasakarena pelaku
adalah laki-laki, kepala sekolah sementara korban adalah perempuan dan Guru
honorer.
Secara subtansi hukum sudah ada PERMA No 3
tahun 2017 yang seharusnya menjadi pedoman dalam memeriksa perkara perempuan
berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 3 (tiga)
disebutkan bahwa peraturan Mahkamah Agung tersebut bertujuan agar hakim
yg memeriksa perkara perempuan berhadapan dengan Hukum: a. memahami dan
menerapkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. mengidentifikasi situasi
perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan Diskriminasi Terhadap
Perempuan; dan c. menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam
memperoleh keadilan. Sayangnya, peraturan yang terlah ada ini tidak menjadi
pertimbangan atau dasar hukum dalam memproses kasus Baiq Nuril, yaitu seorang perempuan
yang berhadapan dengan hukum karena pemanfaatan relasi kuasa yang dimiliki
pelaku.
Kasus kriminalisasi korban kekerasan seksual
bukan pertama kali terjadi di Indonesia. LBH
APIK Jakarta pada tahun 2017 menagani 39 kasus kekerasan seksual terhadap anak,
dan 3 diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diketahui serta tidak
dikehendaki dan menjadi masalah hukum. Salah satu kasus serupa, yaitu seorang
anak BL (16 tahun) korban perkosaan yang dituntut 8 tahun penjara karena
dituduh melakukan aborsi atau tindak pidana pembunuhan terhadap bayi. BL sudah
memeriksakan diri ke dokter, namun dokter hanya menyatakan ia mengalami sakit
perut maag. Dalam kasus BL ini, Majelis Hakim telah memutuskan BL
menjalani rehabilitasi 1 tahun 6 bulan, dengan pertimbangan kondisi
anak sebagai korban perkosaan dan tidak memahami terkait
kehamilannya. Apakah kedepannya kasus-kasus kriminalisasi terhadap
korban kekerasan seksual akan dibiarkan terus berulang? Jika dibiarkan dan
tidak terjadi perubahan cara pandang (perspektif perempuan korban) dapat
dipastikan kedepan situasi anak-anak perempuan dan perempuan korban kekerasan
sesual akan semakin buruk. Maka, sudah saatnya semua elemen intitusi khususnya
pemerintah dan aparat penegak hukum
bergerak untuk perubahan demi memberikan akses keadilan bagi perempuan.
Maka Koalisi Perempuan untuk
keadilan Ibu Nuril menyatakan sangat prihatin atas ketidakadilan yang dialami dan
menuntut kepada berbagai pihak, sebagai berikut :
1. Pemerintah dan
lembaga-lembaga Negara terkait agar segera memenuhi hak Ibu Nuril untuk mendapatkan rehabilitasi psikologi,
sosial dan ekonomi serta proses hukum yang berpihak kepada korban kekerasan
seksual.
2. Aparat Penegak Hukum agar
memiliki perspektif hak Perempuan korban kekerasan seksual.
3. Mahkamah Agung agar
mengimplementasikan PERMA NO 3 Tahun 2017 tentang perempuan berhadapan dengan
Hukum.
4. Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung agar melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada Hakim yang
melakukan Pemeriksaan pada Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum , untuk
melaksanakan persidangan dan pemeriksaan sesuai mandate PERMA NO 3 Tahun 2017
5. Aparat Penegak Hukum, supaya
memasukan kondisi korban kekerasan seksual sebagai salah satu alasan yang
meringankan dalam hal korban menjadi tersangka tindak pidana yang berkaitan
langsung dengan kekerasan seksual yang dialaminya.
6. Pemerintah dan DPR RI segera
melakukan pembahasan dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan seksual agar tidak
semakin banyak korban Perkosaan mendapatkan keadilan dan tidak kembali
mengalami korban berulang.
Jakarta, 24 November 2018 Koalisi Perempuan untuk Keadilan Bu Nuril
CP:
Maria Tarigan – MaPPI-FHUI
(+62 878 7742 9045)
Mike Verawati - KPI DKI
Jakarta (081332929509)
Jo Yohanna - Kalyanamitra
(081382887689)