“Kekerasan terhadap Perempuan dan Upaya Setengah Hati Negara dalam Pemenuhan Hak Perempuan Korban”
Sepanjang tahun tercatat ada 837 kasus yang diadukan masyarakat dan ditangani oleh LBH APIK Jakarta. Jumlah ini meningkat sebanyak 29% dari tahun sebelumnya yakni 648 kasus Peningkatan ini dapat dimaknai sebagai semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat untuk melaporkan kekerasan terhadap perempuan dan LBH APIK Jakarta meresponnya dengan upaya memastikan proses hukum agar dapat memenuhi hak atas keadilan bagi perempuan korban.
Dari 837 kasus tersebut, tercatat 275 kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), 7 kasus poligami, 180 kasus perdata keluarga, 64 kasus kekerasan seksual, 67 kasus kekerasan dalam pacarana (KDP), 1 kasus pemaksaan perkawinan, 42 kasus cyber crime , 43 kasus pidana umum, 66 kasus ketenagakerjaan, 3 kasus perdagangan orang, 2 kasus pemaksaan orientasi seksual 2 Kasus, 4 kasus pemalsuan dokumen dan identitas, 3 kasus menyangkut hak anak, 12 kasus komunitas (Kdrt,Perdata,KDP dan Hak Dasar), dan 65 kasus di luar klasifikasi kasus LBH Apik Jakarta (Hutang Piutang, Pertanahan, waris, narkoba).
Meskipun telah terjadi peningkatan kesadaran akan bahaya kekerasan terhadap perempuan, namun pada prakteknya para perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, masih menemui berbagai kendala dalam pemenuhan hak korban mulai dari tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di Pengadilan. Kasus kekerasan seksual yang menimpa 3 (tiga) anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual oleh gurunya dalam proses litigasi hingga kini masih mandeg dalam proses penyidikan karena susahnya pembuktian. Selain itu korban juga terbebani oleh pembuktian atas masalah yang dilaporkannya dengan mengharuskan korban dapat menghadirkan saksi atas perkara tersebut, dengan membebaskan pelaku (tidak ditahan selama proses peradilan), dan dengan berlarut-larutnya proses hukum yang dijalani. Kondisi ini mengakibatkan korban mengalami tekanan yang lebih berat di saat mereka sedang mencari keadilan dan rentan untuk merasa putus asa dantidak percaya pada proses hukum.
Bagi korban kekerasan seksual yang pelakunya adalah orang tua dan orang terdekat korban seperti teman dan tetangga mengalami kesulitan yang bertambah karena korban harus pindah tempat tinggal dan menyesuaikan diri dengan situasi di tempat tinggalnya yang baru dan seringkali tidak pernah mendapatkan dukungan dari lingkungannya yang sesungguhnya sangat diperlukan dalam upaya pemulihan.Korban juga rentan dikriminalisasi oleh pelaku dengan melaporkan balik sebagai upaya pembungkaman agar korban tidak melanjutkan proses hukumnya. Dalam kurun tahun 2018 LBH APIK mendampingi lima kasus di mana korban yang dilaporkan balik oleh pelaku, atu kasus PRT yang dilaporkan balik oleh majikannya atas tuduhan pencurian, satu kasus perempuan korban pornografi yang dilaporkan UU ITE oleh pelaku, serta satu kasus di mana saudara ipar korban melaporkan balik korban yang sudah tidak tahan lagi dengan KDRT yang dilakukan oleh suaminya. Pada sebuah kasus, k korban yang melaporkan KDRT justru dihentikan proses hukumnya oleh polisi dan kasus korban yang dilaporkan balik malahan diproses oleh kepolisian.
Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum yang dilakukan LBH APIK Jakarta sepanjang 2018 dapat disimpulkan bahwa kondisi penegakan hukum belum membaik seperti yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan dengan masih meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan - (meskipun disisi lain menunjukkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasusnya membaik)- dan pelanggaran terhadap hak-hak yang mendasar termasuk belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan korban serta kelompok rentan lainnya seperti Pekerja Rumah Tangga. Kebijakan yang positif seperti UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak belum sepenuhnya diterapkan untuk kepentingan korban, sementara kebijakan lainnya masih kurang memadai untuk memberikan jaminan perlindungan dan bahkan diskriminatif seperti KUHP/ RKUHP, dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Khususnya terkait UU Bantuan Hukum, masih banyak kendala dan hambatan dalam pelaksanaan maupun keterbatasan UU yang belum menjangkau hak-hak kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan atas bantuan hukum.
Kami mengapresiasi lahirnya PERGUB DKI Jakarta No. 48 Tahun 2018 tentang Rumah Aman bagi Perempuan Korban Kekerasan serta dikeluarkannya peraturan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari KEPGUB DKI Jakarta No. 1564 Tahun 2017 tentang Pelayanan Visum untuk Korban Tindak Kekerasan pada Perempuan dan Anak.
Dengan situasi ini kami menuntut kepada Pemerintah, DPR, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang memiliki kewenangan agar:
1. Segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, serta Revisi KUHP yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan korban serta kelompok rentan dan marjinal lainnya.
2. Segera merevisi UU ITE yang banyak memakan korban, dan sering digunakan pelaku dalam upaya pembungkaman terhadap korban.
3. Menegakkan implementasi UU PKDRT, UU TPPO serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.
4. Memberlakukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan anak termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.
5. Memaksimalkan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana yang sudah dijamin dalam Konstitusi maupun aturan perundang-undangan khususnya hak korban atas restitusi dan hak atas bantuan hukum.
Jakarta, 21 Februari 2019
LBH APIK Jakarta
Kontak Person:
Zuma: 082125912789
Dian Novita: 081578099948
Uli Pangaribuan: 081314825052