Siaran Pers LBH APIK Jakarta : Laporan Akhir Tahun 2019 LBH APIK Jakarta

Jakarta, 10 Desember 2019 – LBH APIK Jakarta luncurkan Catatan Tahunan 2019 (CATAHU 2019) sebuah kumpulan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke dan ditangani oleh LBH APIK Jakarta dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Ini merupakan bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) setiap tahunnya dari tanggal 25 Nopember hingga 10 Desember.

Sepanjang tahun 2019, LBH APIK Jakarta menerima 794 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Di tahun sebelumnya 2018, terdapat 837 kasus yang dilaporkan. Tetap tingginya angka pengaduan tersebut dapat dimaknai sebagai tingginya kesadaran hukum masyarakat untuk melaporkan kekerasan terhadap perempuan melalui LBH APIK Jakarta. LBH APIK Jakarta memastikan proses hukum agar perempuan korban kekerasan dapat mengakses keadilan. Namun, dalam prosesnya, penanganan kasus tidak disertai dengan respon cepat dari Aparat Penegak Hukum (APH), pemerintah, DPR serta berbagai pihak terkait yang memiliki wewenang untuk melindungi korban kekerasan.

“Meskipun telah terjadi peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan terhadap perempuan, dalam prakteknya perempuan korban kerap menemui berbagai kendala dalam pemenuhan hak korban ketika meneruskan kasus ke Pengadilan.” tegas Siti Mazumah, Direktur LBH APIK Jakarta.

Dari jumlah 794 kasus, terdapat beberapa jenis kasus yang ditangani LBH APIK Jakarta, diantaranya; 249 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 125 kasus perdata keluarga, 103 kasus kekerasan seksual dewasa, 46 kasus kekerasan seksual anak, 63 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP), 48 kasus hak anak, 44 kasus pidana umum, 21 kasus komunitas, 20 kasus ketenagakerjaan, 6 kasus pemalsuan dokumen dan identitas, 3 kasus poligami, 2 kasus perdagangan manusia, 1 kasus pemaksaan orientasi seksual, serta 63 kasus di luar klasifikasi kasus LBH APIK Jakarta.

Dalam proses penanganan kasus kekerasan, perempuan korban kerap menghadapi kendala mulai dari tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di Pengadilan. Contohnya, dari 249 kasus KDRT yang diterima oleh LBH APIK, hanya 15 kasus yang dilaporkan ke polisi; dalam kasus kekerasan psikis, sebagian besar korban tidak melanjutkan laporannya karena tidak sanggup membayar visum et psikiatricum, suatu prasyarat untuk penanganan kasus; dari 64 kasus kekerasan seksual terhadap anak, hanya 7 kasus yang dapat di proses sampai ke persidangan. Sedangkan sisanya mandeg dan tidak berjalan lagi. Ada lagi contoh kasus kekerasan seksual di tahun 2019 yang berkendala, yaitu kasus terjadi di sebuah pesantren di Bogor dengan pelaku pemilik pesantren. Banyak anak yang menjadi korban, hanya 2 orang korban yang berani lapor ke polisi, yakni GHN dan ANG (keduanya 11 tahun). Dalam proses pemeriksaan korban, penyidik malah memarahi korban dan menuduh korban pemain watak.

Beragam contoh penanganan kasus tersebut memperlihatkan bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual masih sangat minim. Berdasarkan catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum yang dilakukan LBH APIK Jakarta sepanjang 2019, dapat disimpulkan bahwa kondisi penegakan hukum belum membaik seperti yang diharapkan, karena beberapa hal di bawah ini:

1.    Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran terhadap hak yang mendasar. Seperti belum terpenuhinya akses keadilan bagi perempuan korban serta kelompok rentan lainnya.
2.    Kebijakan yang positif seperti UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak belum sepenuhnya diterapkan untuk kepentingan korban, sementara kebijakan lainnya kurang memadai untuk memberikan jaminan perlindungan dan bahkan diskriminatif seperti KUHP/ RKUHP serta UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Khususnya terkait UU Bantuan Hukum.
3.    RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih belum disahkan di penghujung masa kerja anggota DPR Periode 2014-2019. Padahal UU ini diperlukan untuk menjamin perlindungan korban kekerasan seksual.
4.    Masih banyak hambatan dalam pelaksanaan maupun keterbatasan UU yang belum menjangkau hak-hak kelompok rentan seperti perempuan korban kekerasan atas bantuan hukum.

LBH APIK Jakarta menegaskan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, kami menuntut kepada pemerintah, DPR, Aparat Penegak Hukum serta pihak-pihak terkait yang memiliki wewenang agar:

  1. Segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
  2. Segera merevisi UU ITE yang banyak memakan korban dan sering digunakan pelaku dalam upaya pembungkaman terhadap korban.
  3. Menegakkan implementasi UU PKDRT, UU TPPO serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.
  4. Memberlakukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.
  5. Memaksimalkan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana yang sudah dijamin dalam Konstitusi maupun aturan perundang-undangan, khususnya hak korban atas restitusi dan hak atas bantuan hukum.
***

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi

Siti Mazumah             
Direktur LBH APIK Jakarta
082125912789

* Download Lembar Fakta LBH APIK Jakarta 2019 di sini

Subscribe Text

Untuk selalu terhubung dengan kami