![]() |
Photo Shutterstock |
JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menilai perlindungan
hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan masih minim. "Berdasarkan
catatan refleksi penanganan kasus dan advokasi perubahan hukum yang dilakukan
LBH APIK Jakarta sepanjang 2019, dapat disimpulkan bahwa kondisi penegakan
hukum belum membaik seperti yang diharapkan," ungkap Direktur LBH APIK
Jakarta Siti Mazumah melalui keterangan tertulis, Selasa (10/12/2019).
Sepanjang 2019, LBH APIK Jakarta menerima 794 laporan
kekerasan terhadap perempuan dan anak. Baca juga: Soal Kawin Tangkap di Sumba
dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan... Laporan terbanyak adalah kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 249 kasus.
Dari jumlah itu, hanya 15 kasus yang dilaporkan ke polisi.
Kemudian, ia menyebutkan bahwa sebagian besar korban kekerasan psikis tidak
melaporkan kasusnya. Alasannya, korban tidak sanggup membayar salah satu
prasyarat yaitu visum et psikiatricum.
Ada pula penyidik yang justru memarahi korban kekerasan
seksual saat pemeriksaan. Kasus kekerasan itu, kata Siti, terjadi di sebuah
pesantren di Bogor. Salah satu penyebabnya, menurut Siti, adalah Rancangan
Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang belum disahkan.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih belum disahkan di penghujung masa
kerja anggota DPR Periode 2014-2019.
Padahal UU ini diperlukan untuk menjamin perlindungan korban
kekerasan seksual," katanya. Baca juga: Sepanjang 2019, LBH APIK Jakarta
Terima 794 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Padahal, aturan yang ada sekarang
pun dinilai belum cukup. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Perlindungan Anak.
"Sementara kebijakan lainnya kurang memadai untuk
memberikan jaminan perlindungan dan bahkan diskriminatif seperti KUHP/RKUHP
serta UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Khususnya terkait UU Bantuan
Hukum," ucap dia. Sumber www.kompas.com