Lembar Fakta: Upaya Pemenuhan Akses Keadilan bagi Kelompok Rentan dan Masyarakat Miskin dengan Perda Bantuan Hukum


Peraturan perundang-undangan telah memberikan landasan hukum terhadap program bantuan hukum nasional. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga telah mulai menyelenggarakan program bantuan hukum yang dikelola oleh Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN). Program tersebut diselenggarakan dengan memberikan dukungan terhadap Pemberi Bantuan Hukum (PBH) yang telah diverifikasi sebagai pelaksana. Dalam pelaksanaannya, PBH hanya mendapatkan pendanaan untuk bantuan hukum yang diberikan kepada orang atau kelompok orang miskin.

Pembatasan terhadap kriteria penerima bantuan hukum yang selama ini dilakukan berdasarkan kemampuan ekonomi tidak didukung dengan fakta lapangan. Kriteria miskin yang menjadi penentu tidak secara realistis menjangkau orang-orang yang tidak mampu untuk mendanai kebutuhannya dalam memperjuangkan haknya melalui sistem peradilan. Untuk membuktikan kriteria “miskin” tersebut, pemohon bantuan hukum perlu melampirkan bukti berupa Surat Keterangan Miskin atau penggantinya yang setara. Secara teknis jika mengacu pada sensus yang dilakukan Biro Pusat Statistik, status miskin ditentukan dengan melihat pada pendapatan. Warga yang tergolong dalam golongan miskin adalah yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan yaitu 600.000-rupiah perbulan.[1] Jika dibandingkan dengan data tahun 2018 dimana rata-rata pengeluaran penduduk Jakarta yang sebesar 17,7 juta rupiah dan pedapatan perkapita sebesar 56 juta rupiah (4,7 juta/bulan), maka dapat dipastikan banyak warga yang tidak tergolong miskin sehingga tidak dapat terkualifikasi sebagai Penerima Bantuan Hukum. Padahal, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa jasa penasihat hukum secara pribadi sangatlah mahal. Sebagai ilustrasi, BPHN menganggarkan biaya penanganan sebesar 8 juta rupiah perkasus. Dengan jumlah tersebut, rata-rata penduduk harus merogoh pendapatannya selama dua bulan penuh dan hanya menyisakan 1,4 juta rupiah untuk keperluan sehari-hari.[2] Akibatnya, mereka yang tergolong sebagai “sandwich people” ini rentan terhambat haknya untuk memperoleh bantuan hukum dan harus terpaksa menyelesaikan urusan hukumnya tanpa didampingi advokat. Hal ini juga diperkuat dengan data dari LBH Jakarta yang konsisten menemukan bahwa sekitar 80% pencari keadilan yang mengikuti proses peradilan pidana tidak mendapatkan pendampingan hukum.[3]

Perluasan lingkup penerima bantuan hukum telah memiliki beberapa landasan yuridis, diantaranya:

a.  Pasal 5 UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam pasal ini, diatur bahwa penerima bantuan hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak dasar meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan. Artinya, miskin tidak terbatas pada harta kekayaan/ekonomi, tetap miskin struktural (terlanggar hak-hak dasarnya.)

b.      Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, serta Pasal 35 UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Aturan-aturan tersebut menegaskan hak korban atas bantuan/ pendampingan /nasihat hukum.

c.     Pasal 17 dan 18 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya atau menjadi korban ataupun pelaku tindak pidana, berhak mendapatkan bantuan hukum.

d.  UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Aturan tersebut secara spesifik mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan bantuan hukum kepada Penyandang Disabilitas

Selain itu, Kementrian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI juga telah menetapkan Strategi Nasional Akses Keadilan tahun 2016-2019 (SNAK), yang memperluas fokus sasaran tidak hanya kelompok miskin tetapi juga kelompok yang terpinggirkan yaitu masyarakat, anak-anak, dan perempuan dengan disabilitas; serta masyarakat, anak-anak dan perempuan yang memerlukan perlindungan khusus seperti korban kekerasan, kelompok minoritas, masyarakat hukum adat, buruh tani, buruh perkebunan dan nelayan

Kesenjangan juga terjadi dari aspek hukum jika membandingkan ketentuan pada UU Bantuan Hukum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada bagian konsideran UU Bantuan Hukum, pembuat undang-undang memandang bahwa negara hanya bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan.[1] Kriteria miskin dipertegas pada Ketentuan Umum yang menyebutkan bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah setiap orang atau kelompok orang miskin.[2] Sementara itu, terminologi berbeda digunakan pada KUHAP yang memakai istilah “tidak mampu” bagi orang yang berhak mendapatkan penasihat hukum yang disediakan oleh negara.[3] Meski secara Bahasa keduanya memiliki arti yang mirip, tetapi pada prakteknya kriteria miskin yang digunakan pada UU Bantuan Hukum memiliki lingkup yang lebih sempit dibandingkan dengan kriteria tidak mampu pada KUHAP. Seperti yang telah disinggung di atas, kriteria miskin umumnya mengacu pada pendapatan warga yang tergolong di bahwa garis kemiskinan. Di sisi lain, warga yang berpendapatan di atas garis kemiskinan belum tentu mampu memiliki penasihat hukum pribadi. Penggunaan kedua terminologi ini kembali menggambarkan adanya kesenjangan antara kelompok penduduk miskin dan kelompok tidak mampu dalam pengaturan mengenai ruang lingkup penerima bantuan hukum.

Pada dasarnya permasalahan mengenai kesenjangan lingkup bantuan hukum bukan hanya dihadapi oleh Indonesia saja. Tiap negara tentunya memiliki batasan sumber daya dalam memenuhi kebutuhan warga atas bantuan hukum. Misalnya, pada tahun 2013, para pengacara publik di Belanda melakukan demonstrasi untuk menolak upaya pemerintah mengurangi tarif pengacara publik pada kasus pidana guna menjangkau lebih banyak penduduk yang membutuhkan bantuan hukum.[4] Pada tahun 2017 di Ontario-Kanada, Legal Aid Ontario (LAO) sebagai lembaga yang ditugaskan untuk mengurusi pelaksanaan bantuan hukum mengalami kesulitan untuk meperkirakan permintaan yang berimplikasi pada habisnya cadangan pendanaan serta defisit anggaran.[5] Terakhir, kesenjangan dalam penerimaan bantuan hukum juga dirasakan Amerika Serikat dimana estimasi sebesar 85-97% atau 900 ribu - 1,2 juta kasus yang lolos kualifikasi (berbeda tergantung negara bagian) tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai atau tidak sama sekali mendapatkan bantuan hukum.[6]


[1] BPS, ‘Profil Kemiskinan Maret 2018’ 8.

[2] Asumsi menggunakan pendapatan perkapita 56 juta rupiah pertahun atau 4.6 juta rupiah perbulan.

[3] Ditunggu!! Buku Panduan Pro Bono Untuk Advokat - Hukumonline.Com <https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a8a4d9e2c112/ditunggu-buku-panduan-pro-bono-untuk-advokat>.


Untuk lembar fakta lengkap bisa download di sini

Sumber gambar: LBH Bandung

Subscribe Text

Untuk selalu terhubung dengan kami