11.000 Suara Masyarakat Tidak Menjadi Pertimbangan Hakim,
Kasus KDRT Ibu DP dan anaknya Dihentikan.
Jakarta (22/06/2021) -Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan praperadilan kasus KDRT yang dialami DP dan menyatakan penetapan penghentian perkara penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh Polres Jakarta Timur sah secara hukum.
Putusan ini dibacakan hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dihadiri oleh pihak pemohon LBH Apik Jakarta dan 2 orang termohon perwakilan dari Polres Jakarta Timur, Rabu (22/06).
Hakim berpendapat bahwa penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) No:S.Tap/02/S.7/1/2021/Res.JT, adalah sah dengan alasan demi hukum, karena tidak memenuhi dua alat bukti yang sah.
Sebelumnya, Tim kuasa hukum LBH Apik Jakarta telah mendaftarkan permohonan gugatan praperadilan ini agar majelis hakim PN Jakarta Timur mencabut surat penghentian penyidikan (SP3) yang dilakukan Polres Jakarta Timur atas nama Tersangka HH, sekaligus menerbitkan perintah penyidikan lanjutan dan segera melimpahkan perkaranya ke Kejaksaan Jakarta Timur.
Dengan ditolak permohonan praperadilan ini, proses hukum terhadap kasus KDRT yang dialami DP dan anaknya terpaksa harus diberhentikan karena telah diputuskan oleh majelis hakim.
LBH Apik Jakarta menilai putusan hakim ini merupakan bukti dari kegagalan 17 tahun implementasi UU PKDRT, dimana saksi korban dan bukti visum tidak menjadi pertimbangan kepolisian dalam penanganan kasus ini hingga kasus ini diberhentikan, ujar Zuma selaku direktur LBH Apik Jakarta. Lebih lanjut menurutnya, hakim tidak memahami kekhasan dalam kasus KDRT, seharusnya jika merujuk kedalam UU cukup dibutuhkan 1 saksi korban ditambah 1 alat bukti lainnya proses penyidikan tetap bisa dilanjutkan. Oleh karenanya dalam UU PKDRT telah mengeliminasi azas unus testis Nullus Testis dimana satu saksi bukan saksi sebagaimana yang diatur di dalam pasal 55 ayat 1 UU PKDRT, tegas Zuma.
Selain itu, hakim juga tidak mempertimbangkan pendapat ahli pidana Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.A, yang menyatakan untuk menetapkan sebagai seorang tersangka, harus ada 2 alat bukti. SP3 sebaiknya sebelum penetapan tersangka. Jika sudah penetapan tersangka, lalu ada SP3, maka ia mesti melalui pengadilan, ujar akademisi dari Universitas Binus saat memberikan keterangan ahli dipersidangan sebelumnya.
Hal senada tidak berbeda jauh seperti yang ditegaskan oleh seorang ahli psikologi Hapsarini Nelma, M.Psi, beliau menyampaikan, dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi kendala terbesar karena minimnya saksi yang melihat adalah karena kejadian terjadi dalam ranah yang sangat privat sehingga alat bukti surat hasil psikologis merupakan salah satu alat bukti yang dapat dijadikan rujukan tentang kejadian kekerasan dalam rumah tangga, bahwa kasus KDRT biasanya dialami oleh korban secara berulang dan merupakan siklus kekerasan, tegas paparan Hapsarini yang berprofesi sebagai Psikolog dari P2TP2A.
Diketahui bahwa banyak pihak yang ikut terlibat untuk memberikan amicus curiae kepada PN Jakarta Timur seperti Komnas Perempuan, Masyarakat Pemantau Keadilan FH UI dan akademisi Lidwina Inge dari Fakultas Hukum UI dengan tujuan memberikan informasi dan keahlian dalam perkara memiliki kaitannya dengan isu-isu ketimpangan gender struktural dalam kasus KDRT yang dialami oleh DP dan anaknya.
Selain itu, hingga putusan ini dikeluarkan pada selasa (22/6) setidaknya terdapat 11 ribu lebih dukungan masyarakat melalui petisi change.org agar hakim mempertimbangan putusan praperadilan agar berpihak kepada korban dalam hal ini DP dan anaknya. Dukungan amicus curiae dari berbagai pihak, pernyataan saksi ahli dan keterlibatan 11 ribu lebih masyarakat ternyata belum menjadi pertimbangan hakim, hal ini bukan saja kekalahan Ibu DP dan kuasa hukum tetapi merupakan kekalahan masyarakat dalam memperjuangkan keadilan bagi korban.
Selama proses persidangan berlangsung hingga putusan dikeluarkan, DP selalu hadir di persidangan dengan didampingi tim kuasa dari LBH APIK Jakarta. Menurut DP, saya sangat berharap keadilan akan didapatkan, meskipun pada akhirnya DP sangat kecewa dengan ditolaknya putusan tersebut. “Jangan berharap banyak pada prosedur hukum, apalagi untuk perempuan korban. Ternyata proses yang ada di PN Jaktim tidak bisa kita harapkan untuk memperoleh keadilan yang sesungguhnya. Semoga kedepannya, akan ada pembaharuan dalam prosedur hukum tidak seperti yang saya alami saat ini.”, ungkap DP. Dia juga menyampaikan rasa terimakasihnya kepada masyarakat yang telah mendukungnya melalui change.org, rekan dan lembaga lain yang tetap konsisten mendukungnya.** (DN/RB)
* Dukung para korban KDRT dengan menggunakan twibbon berikut: twb.nz/kamibersamakorban
* akses amicus curiae pada link berikut: bit.ly/AmicusCuriae-KDRT