10 TAHUN UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM: HINGGA HARI INI DKI JAKARTA BELUM MEMILIKI PERATURAN DAERAH TENTANG BANTUAN HUKUM
Sejak Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) pada 31 Oktober 2011 lalu, persoalan pemenuhan akses keadilan di tingkat nasional dan daerah belum terealisasi, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Sebagai contoh, tidak semua warga DKI Jakarta dapat mengakses layanan bantuan hukum karena kualifikasi tidak memenuhi persyaratan sebagai Penerima Bantuan Hukum menurut Pasal 5 pada UU Bantuan Hukum.
DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia terdapat ragam jenis individu atau kelompok warga yang mengalami permasalahan hukum. Tidak hanya mengenal istilah individu atau kelompok dari kalangan ekonomi kelas bawah atau miskin, melainkan terdapat individu atau kelompok rentan hingga kelas menengah (sandwich people). Dimana individu atau kelompok rentan dan kelas menengah ini tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan akses bantuan hukum oleh karena Pasal 5 pada UU Bantuan Hukum hanya membatasi kepada individu atau kelompok miskin.
Sebagai gambaran, individu dan kelompok rentan menyasar kepada perempuan, anak, orang lanjut usia, penyandang disabilitas (fisik dan psikis), dan individu dan kelompok lainnya yang sering berhadapan dengan persoalan hukum, baik sebagai korban maupun pelaku, namun tidak masuk kategori warga miskin. Terdapat juga kelompok masyarakat kelas menengah yang misalnya pada akhir-akhir ini banyak yang terjerat dalam permasalahan utang pinjaman online (pinjol). Selain itu, terdapat pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke dalam individu atau kelompok miskin dan/atau rentan.
Selain itu, skema bantuan hukum nasional belum sepenuhnya menyasar pada akar permasalahan hukum yang sistematik di masyarakat karena skema bantuan hukum lebih fokus pada penyerapan anggaran bantuan hukum secara litigasi. Padahal berbicara mengenai penguatan informasi dan pemberdayaan hukum bagi masyarakat agar tidak terkena permasalahan hukum, agenda yang justru diutamakan adalah kegiatan advokasi non-litigasi.
Skema bantuan hukum nasional di ranah litigasi—khususnya litigasi pidana—juga terlalu fokus pada pendampingan untuk terduga pelaku tindak pidana, sejak tingkat Kepolisian hingga Pengadilan. Namun di sisi lain, pendampingan untuk korban atau saksi hanya dibatasi sampai tingkat kepolisian saja dengan dalih proses hukum selanjutnya sudah diwakili oleh Penuntut Umum. Padahal dalam sebuah perkara dimana terdapat korban selaku pelapor, korban masih membutuhkan dukungan pendampingan, baik secara jalur litigasi maupun non litigasi sampai kasus tersebut tuntas. Namun hal ini tidak dipertimbangkan untuk mendapatkan dukungan pendanaan oleh skema bantuan hukum nasional.
UU Bantuan Hukum melalui Pasal 19 sebenarnya telah memberikan amanat kepada Pemerintah Daerah untuk dapat membentuk peraturan daerah (Perda) mengenai penyelenggaraan bantuan hukum di daerahnya masing-masing, agar upaya perluasan akses keadilan bagi warga di daerah menjadi lebih kuat. Berdasarkan data dari BPHN per 2019, terdapat 17 Provinsi dan 152 Kabupaten/Kota yang telah memiliki Perda Bantuan Hukum untuk mengatur penyelenggaraan bantuan hukum.
Sayangnya, 10 tahun pasca pengundangan UU Bantuan Hukum, DKI Jakarta yang berstatus sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia sama sekali belum memiliki arah untuk membuat dan memiliki Perda terkait penyelenggaraan bantuan hukum. Untuk itu, Jaringan Advokasi Bantuan Hukum DKI Jakarta yang terdiri dari sejumlah Organisasi Bantuan Hukum, Organisasi Masyarakat Sipil, Komunitas Paralegal, Akademisi, dan Aktivis/Pegiat Bantuan Hukum mendesak:
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta untuk segera memasukkan rancangan Perda terkait penyelenggaraan bantuan hukum sebagai bagian dari prioritas program legislasi daerah;
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta memastikan agar perumusan rancangan Perda terkait penyelenggaraan bantuan hukum melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk Organisasi Bantuan Hukum, Organisasi Masyarakat Sipil, Komunitas Paralegal, Akademisi, dan Aktivis/Pegiat Bantuan Hukum;
- Merumuskan dan memuat sejumlah kebutuhan penyelenggaraan bantuan hukum yang memotret lokalitas DKI Jakarta, dimana akses dan dukungan bantuan hukum dapat menyentuh target individu atau kelompok rentan dan masyarakat kelas menengah (sandwich people) dalam merancang Perda Bantuan Hukum;
- Memuat skema dukungan pendanaan dari APBD DKI Jakarta secara jelas dan konkret, beserta mekanisme penyelenggaraan dukungan pendanaan yang jelas dalam merancang Perda Bantuan Hukum.
Jakarta, 19 November 2021 Hormat kami,
JARINGAN ADVOKASI BANTUAN HUKUM DKI JAKARTA
LBH APIK Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat (LBHM), LBH GP Anshor Jakarta, LKBH UNKRIS, PBHI Jakarta, OPSI Jakarta, Suara Kita, Bandungwangi, Parinama Astha, MaPPI FH UI, IFLC, ILRC dan LBH Pers, Suaka, FBHUK, LBH Jayakarta, LBH Perjuangan, dan VST
Narahubung:
1. Robi LBH APIK Jakarta 0857 7105 1415
2. Rasyid LBH Jakarta 0812 1303 4492
3. Yosua LBH Masyarakat 0812 9778 9301