[SIARAN PERS] Kekerasan Seksual Berbasis Online dan Perlindungan Korban: “Pentingnya Pengaturan Hukum Yang Komprehensif dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual”

 


SIARAN PERS

 

Kekerasan Seksual Berbasis Online dan Perlindungan Korban: “Pentingnya Pengaturan Hukum Yang Komprehensif dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual”

YLBH APIK Jakarta, 22 Februari 2022

Dalam masa Pandemi Covid 19 yang belum membaik, tahun 2021 menjadi tahun tantangan serius bagi LBH APIK Jakarta, dimana angka kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam. Berdasarkan Catatan Tahunan YLBH APIK Jakarta tahun 2021 ada 1.321 kasus aduan. Angka tersebut meningkat drastis jika dibandingkan tahun 2020 sebanyak 1.178 kasus. Tercatat dari total pengaduan yang masuk pada tahun 2021, kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 489 kasus, disusul kasus KDRT sebanyak 374, tindak pidana umum 81 kasus, kasus kekerasan dalam pacaran 73 kasus, kasus kekerasan seksual dewasa 66 kasus. Catatan ini memperlihatkan kasus KDRT yang biasanya menjadi kasus tertinggi yang diadukan, namun pada tahun 2021 kasus KBGO menjadi kasus tertinggi yang diadukan ke YLBH APIK Jakarta.

Bahwa kasus kekerasan seksual berbasis online merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO), dimana kasusnya terus meningkat di Indonesia, terutama dimasa Covid-19. Setidaknya dalam kurun 4 (empat) tahun terakhir dari 2018-2021, YLBH APIK Jakarta telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis online (KSBO), baik yang diadukan secara online maupun offline (datang ke kantor). Hal ini menegaskan bahwa pola kekerasan terhadap perempuan mudah terfasilitasi dan beralih wujud menjadi kekerasan secara virtual/online. Dampaknya terhadap korban sangat serius, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik (video, suara, gambar, icon dan teks) sangat cepat dan tak terkendali membuat korban mengalami trauma secara berkepanjangan yang berdampak secara fisik, psikis, ekonomi, politik dan sosial.

Dari pengalaman penanganan kasus kekerasan seksual Berbasis Online (KSBO) yang merupakan bagian dari KBGO ditemukan setidaknya 9 bentuk kekerasan seksual berbasis online yang terdiri dari: 1) Pembuatan Materi/Informasi Elektronik yang bernuansa seksual tanpa dikehendaki; 2) Modifikasi materi/informasi yang bernuansa seksual; 3) Ancaman Penyebaran Materi/Informasi bernuansa Seksual; 4) Penyebaran materi/informasi elektronik yang bernuansa seksual; 5) Menjual materi/informasi elektronik yang bernuansa seksual; 6) Pelecehan Seksual; 7) Ekspolitasi Seksual; 8) Perundungan Seksual dan 9) Penguntitan seksual. Modus KSBO ini beragam; baik media yang digunakan dan tujuan/motif dari perbuatan yang dilakukan.

Situasi dan kondisi penanganan kasus KSBO pada tahun 2021 masih belum berpihak kepada korban, tercatat ada sejumlah hambatan; Pertama pengaturan yang terbatas terkait KSBO yang cenderung berpotensi mengkriminalisasi korban. Kedua sikap aparat penegak hukum belum melihat kasus kekerasan seksual berbasis online sebagai isu penting yang memberi dampak kerugian besar terhadap korban, keluarga maupun dan pendamping. Mengingat proses pelaporan, penyidikan kasus yang cenderung mengarahkan pada proses mediasi penal antara pelaku dan korban. Ketiga, kurangnya keberpihakan terhadap korban meski kasus dilanjutkan namun proses pembuktian malah dibebankan kepada korban. Keempat tidak menganggap peran penting pendamping seperti adanya dorongan kepada korban agar tidak didampingi oleh pendamping. Kelima, perkembangan informasi kasus tidak disampaikan kepada pendamping dan bahkan pendamping tidak dilibatkan dalam proses hukum yang sedang berjalan. Keenam, Pendamping rentan dikriminalisasi mengingat terbatasnya pengaturan soal perlindungan pendamping. Ketujuh mekanisme proses beracara kasus yang belum menjadikan perlindungan sementara seperti menghentikan penyebaran informasi sebagai langkah penting dan mendesak untuk dilakukan, ketentuan proses penyidikan dan penuntutan rentan dijadikan alat mediasi mengingat tidak ada standart khusus pengaturan KSBO sebagai delik murni atau aduan dan sistem persidangan yang terbuka menjadi persoalan baru yang perlu segera direvisi demi kepentingan korban.

Melihat situasi dan kondisi penanganan kasus KSBO di atas, maka keberadaan Rancangan Undang–Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi hal mendesak untuk mengatur mengenai Kekerasan Seksual Berbasis Online secara komprehensif demi kepentingan Perlindungan Korban maupun Pendamping Korban. Disamping tetap melakukan revisi atau mendorong kebijakan lain yang mengakomodir kepentingan  perempuan korban, menjamin adanya akses keadilan bagi perempuan, sehingga hak-hak  perempuan menjadi terjamin dan terlindungi oleh negara.

Untuk itu YLBH APIK Jakarta mendorong dan merekomendasikan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk:

1) Memasukkan pengaturan yang lebih rinci yang berbasis pada realitas kekerasan seksual berbasis online di dalam RUU TPKS dengan mempertimbangkan dampak kerugian korban yang lebih luas terhadap penyebaran informasi atau dokumen elektronik dimuka umum, tujuan komersil dan bertentangan dengan kehendaknya.

2) Mengintegrasikan pengaturan materil/substansi hukum seperti bentuk-bentuk kekerasan seksual berbasis online, cara dan modus yang beragam, tidak hanya pelecehan seksual berbasis elektronik, melainkan 8 bentuk lainnya termasuk ekploitasi seksual dan perundungan seksual. Tidak meletakkan KSBO sebagai delik aduan absolut khususnya ketika korban mengalami kerugian yang serius terhadap fisik dan psikisnya akibat kecepatan transmisi atau distribusi informasi atau dokumen elektronik dimuka umum , tujuan komersil dan bertentangan dengan kehendaknya. Tidak meletakkan KSBO sebagai delik aduan absolut khususnya korban adalah anak. Sanksi pidana pokok berupa penjara, denda dan tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, pembayaran restitusi dan rehabilitasi sosial. Untuk pelaku anak sanksi pindana tambahan berupa rehabilitasi psikososial yang meletakkan pengawasan yang berkelanjutan.

3) Memasukkan bukti digital forensik dalam bukti surat, Keterangan korban ditambah satu alat bukti lain cukup untuk proses hukum pengaturan hak atas pemulihan nama baik korban dan kepastian tidak berulang penyebaran berjangka panjang, Perlindungan sementara dalam pelaporan dan penyidikan kasus penangan kasus yang berkelanjutan, Penegasan pemeriksaan tertutup dari tingkat kepolisian sampai pengadilan dan jaminan kerahasiaan kasus dan Aparat penegak hukum penyidik, jaksa dan hakim dilarang menunjukan sikap yang merendahkan harkat dan martabat korban sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum dan Pedoman Kejaksaan  Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

4) Memastikan tidak adanya ketentuan yang berpotensi mengkriminalkan korban maupun pendamping melalui RUU TPKS mengingat masih adanya pengaturan yang tidak berpihak pada korban dan pendamping dalam perundang-undangan lain menjadi hambatan serius bagaimana korban dan pendamping mengalamami ancaman, intimidasi dan upaya kriminalisasi ketika mengakses keadilan. 

 

***LBH APIK Jakarta 2021***

Untuk informasi lebih lanjut silahkan:

Kontak Person: Humas LBH APIK Jakarta: 0812-8759-4849

_______________________________

Dokumen versi pdf selengkapnya dapat diakses melalui link berikut:

https://bit.ly/Pers-KK-RUUTPKS

Subscribe Text

Untuk selalu terhubung dengan kami