Konferensi Pers Jaringan
Masyarakat Sipil:
Jalan Panjang Advokasi Masyarakat Sipil untuk Pengesahan RUU TPKS yang Berpihak Pada Korban
(Jakarta, 04/04/2022) - Jaringan Masyarakat Sipil bersama Forum Pengada Layanan menggelar konferensi pers secara daring mengenai jalan panjang advokasi masyarakat sipil untuk pengesahan RUU TPKS yang berpihak pada korban. Acara ini juga sekaligus menegaskan pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera disahkan. Acara konferensi pers ini dibuka oleh Dian Novita selaku moderator diskusi sekaligus Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta. Beliau mengingatkan kembali bagaimana perjuangan naik turun dalam mengadvokasi RUU TPKS sejak 2016 higga saat ini pembahasan. Selanjutnya, Ira Imelda mewakili Forum Pengada Layanan juga turut memberikan pengantar dalam acara tersebut. Dalam paparannya beliau menekankan bahwa RUU TPKS yang ada nantinya harus benar-benar mampu mewujudkan perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Ragam Suara yang Membersamai Perjalanan RUU TPKS
Pada kesempatan yang sama hadir pula tujuh pembicara yang berasal dari berbagai latar yang menyampaikan pandangannya terkait perjalanan RUU TPKS sampai dengan saat ini. Pembicara pertama adalah Suster Ika dari Truk F Maumere, Nusa Tenggara Timur. Suster Ika memaparkan setidaknya terdapat 114 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Maumere, tetapi 93 diantaranya tidak dapat diproses hukum karena polisi berdalih kekerasan seksual itu adalah suka sama suka. Beliau berharap RUU TPKS yang berpihak kepada korban segera disahkan agar mampu mempermudah pemberian layanan korban.
Selanjutnya Leila selaku perwakilan Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK) Aceh, mengatakan bahwa kondisi di Aceh juga kurang lebih sama dengan Maumere. “Seperti yang teman-teman ketahui bahwa ada dua kasus kekerasan seksual yang divonis bebas di Aceh setelah banding”, tambahnya. “Namun, setelah disomasi, pelaku tetap mendapatkan hukuman. Tentunya ini adalah pengalaman buruk”, ujarnya. Untuk itu Leila berharap bahwa tindak pemerkosaan dapat masuk dalam RUU TPKS agar tidak terjadi kasus serupa.
Purwanti dari Koalisi Organisasi Perempuan Disabilitas juga hadir untuk memberikan dukungan dan berbagai perspektif baru terkait korban kekerasan penyandang disabilitas. “Ada yang menjadi korban pemaksaan kontrasepsi padaha mereka ga tahu maksudnya untuk apa. Bahkan, pelaku kekerasan seksual yang merupakan laki-laki pernah menjadi korban sodomi dan pemaparan film porno di masa lalu. Hal ini tidak pernah diketahui sebelumnya”, ujar Purwanti. Di akhir sesi, beliau menyampaikan permintaan agar kelompok disabilitas dapat diakui sebagai subjek hukum yang berkapasitas cakap dalam memberikan kesaksian. Serta adanya peningkatan kapasitas penegak hukum untuk dapat memahami permasalahan kekerasan seksual secara holistik dan menerapkan penegakan hukum yang inklusif.
Nanda Dwinta mewakili Yayasan Kesehatan Indonesia, menurutnya pemaksaan aborsi dapat berpotensi dikriminalkan karena diluar dari pengaturan undang-undang kesehatan. “Sehingga saat ini kami berfokus mendorong akses layanan aborsi yang aman dan legal seperti yang dimandatkan undang-undang kesehatan sehingga potensi korban, pemberi layanan, dan pendamping yang dikriminalisasi akan semakin kecil”, ujarnya. Nanda juga mengungkapkan bahwa kini masih menunggu pihak Kementerian Kesehatan untuk menunjuk layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual.
Siti Mazuma selaku Direktur LBH APIK Jakarta juga menyampaikan tingginya kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta selama 2021. Beliau mengatakan bahwa pengaduan kasus KSBE yang masif tersebut belum diimbangi dengan adanya payung hukum yang berpihak kepada korban. Sebaliknya, korban-korban KSBE justru rentan dikriminalisasi. Sejalan dengan hal tersebut, LBH APIK Jakarta juga telah melakukan kajian terkait KSBE dan menemukan jenis-jenis KSBE yang kerap terjadi terhadap perempuan korban. Berdasarkan temuan ini, LBH APIK Jakarta mengusulkan KSBE harus tetap masuk di dalam RUU TPKS. Meskipun usulan KSBE telah diterima, baik pemerintah dan DPR masih perlu merumuskan penormaannya dalam RUU TPKS.
Renie Aryandani, Ketua BEM STHI Jentera hadir sebagai perwakilan orang muda sekaligus membawa cerita perjuangan perlawanan kekerasan seksual di kampus. Renie menjelaskan bahwa korban-korban yang berani speak up hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan korban-korban yang terpaksa bungkam karena kerentanan yang mereka hadapi. Terlebih lagi, permasalahan kekerasan seksual di kampus tidak dianggap sebagai prioritas, baik oleh petinggi kampus maupun organisasi mahasiswa dengan maskulinitas rapuhnya. “RUU TPKS yang disahkan nanti harus diimplementasi dengan baik oleh semua pihak, ucap Rennie.
Di sesi akhir turut juga hadir Wiwiek Afifah selaku Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia yang mengapresiasi dimasukkannya perkawinan paksa ke dalam salah satu bentuk kekerasan seksual dalam RUU TPKS. “Selain melibatkan unsur relasi kuasa, perkawinan paksa juga menghilangkan hak otonomi dalam diri anak”, jelasnya. Beliau berpendapat bahwa perkawinan paksa yang melibatkan anak sebagai korban patut menjadi delik pidana. Mengingat dampak-dampak menderitakan yang harus ditanggung oleh anak, mulai dari KDRT, hilangnya hak atas hidup layak, putusnya hak pendidikan, bahkan berpotensi menjadi ladang perdagangan orang.
RUU TPKS Seharusnya Tidak Mengabaikan Pengalaman dan Realitas Perempuan Korban
Sulistyowati Irianto, guru besar dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa pemaksaan hubungan seksual dan aborsi harus dimasukan ke dalam RUU TPKS. Dikarenakan RUU TPKS merupakan undang-undang yang sangat berdasarkan fakta (evidence based) pendampingan di seluruh daerah. “Justru dengan tidak dimasukkannya pemaksaan hubungan seksual dan aborsi dalam RUU TPKS maka undang-undang ini telah mengabaikan pengalaman dan realitas perempuan korban,” tegas akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Semua Turut #GerakBersama dalam Perjalanan Panjang RUU TPKS
Perjalanan
RUU TPKS sampai pada
tahapan Panitia Kerja di DPR hari ini, tidak lepas
dari peran teman-teman jaringan dan juga peran pengada layanan yang ada.
Semuanya berbagi peran, baik melakukan loby
secara langsung maupun lewat perpesanan instan. Peran yang tidak kalah
penting ialah penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang didasarkan
pengalaman-pengalaman pendampingan selama ini. Bahkan, teman-teman media pun
diharapkan mampu turut mengawal RUU TPKS ini sampai legal. Semua pihak punya kontribusi sekecil
apapun dan tetap dukung RUU TPKS dalam #GerakBersama
dalam Perjalanan Panjang RUU TPKS. *(PIU/RB)
“JALAN PANJANG ADVOKASI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENGESAHAN RUU TPKS YANG BERPIHAK PADA KORBAN"
selengkapnya melalui link berikut: