Memaknai
Kembali Seksualitas demi Kemanusiaan
Seksualitas sering kali tidak diperbincangkan
secara luas karena dinilai tabu.
Ketabuan ini tentunya merupakan buah dari belum terciptanya pengetahuan yang
komprehensif mengenai seksualitas dalam masyarakat. Hal yang sama terjadi
ketika kita membicarakan kekerasan seksual, seolah kasus tersebut menjadi
tanggung jawab korban dan orang lain tidak boleh ikut campur bahkan untuk
mendampingi. Sampai kita terlupa bahwa seksualitas dapat menjadi “teropong”
untuk memahami luka orang lain. Sekaligus sarana untuk melatih kemanusiaan
sampai akhirnya menjadi manusia seutuhnya.
Berangkat dari pernyataan tersebut, penulis
akhirnya merefleksikan bagaimana seksualitas dan ketubuhan yang dipahami secara
keliru akhirnya melahirkan kekerasan seksual. Kekeliruan tentang ketubuhan dan
seksualitas terlihat dari fenomena pelecehan seksual yang kerap terjadi pada
saat penulis duduk di bangku SMA. Dimana sebuah candaan yang mengobjektifikasi
ketubuhan orang lain, serta komentar-komentar terhadap tubuh orang lain
dianggap sebagai hal yang normal dan wajar.
Terlebih adanya wacana bahwa kita haruslah berbangga
jika memiliki tubuh ideal sesuai dengan standar masyarakat. Perbincangan
mengenai standar tubuh ideal ini tidak hanya diarahkan kepada perempuan, melainkan
juga laki-laki. Laki-laki yang dianggap “ideal” adalah memiliki tubuh yang
tinggi, berisi, dan berotot. Padahal setiap postur dan bentuk tubuh selalu
dipengaruhi oleh faktor internal seperti gen serta faktor eksternal lain yang
tentunya menimbulkan keberagaman dalam diri manusia. Sayangnya, seseorang yang
tidak memenuhi standar yang masyarakat imajinasikan sebagai tubuh ideal
dianggap pantas untuk dilecehkan secara seksual. Miris, tapi sering terjadi.
Ketika penulis memasuki bangku
perkuliahan, di mana penulis tidak lagi menemukan pelechan seksual secara
verbal. Penulis mengira ini sebuah hal baik, sampai pada akhirnya penulis
terlibat dalam kegiatan pendampingan untuk penyintas kekerasan seksual di kampus.
Penulis merasakan tantangan sesungguhnya ketika mendampingi langsung kasus
kekerasan seksual, dikarenakan sangat berbeda dengan teori-teori yang
didapatkan selama ini. Kasus kekerasan seksual yang didampingi penulis sekaligus
menjadi awal dari refleksi kehidupan kampus yang selama ini dia kira aman dan
nyaman. Ternyata kenyamanan tersebut merupakan sebuah kamuflase yang diciptakan
secara kolektif untuk menutupi tindakan pelecehan dan kekerasan seksual yang
terjadi.
Michel Foucault berbicara tentang kekuasaan yang berhubungan
dengan banyak hal termasuk pengetahuan. Kekuasaan tersebut terwujud dalam
sebuah diskursus pengetahuan yang akhirnya menabukan hal-hal terkait
seksualitas. Kemudian Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bersifat interplay
sehingga diskursus terkait pengetahuan seksualitas ini dapat direbut oleh
adanya gerakan yang menolak diskursus selama ini terkait seksualitas dan
kekerasan seksual yang masih sangat bermasalah. Implikasi serius dari teori
Foucault ini dapat kita lihat dari adanya serangkaian regulasi pendampingan dan
penanganan kekerasan seksual di kampus seperti adanya Permendikbud No. 30
Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di
Perguruan Tinggi dan Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Pendidikan Islam
(Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun 2019 tentang
Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKI). Meskipun, kedua peraturan ini haruslah diturunkan
menjadi sebuah aturan hukum di masing-masing perguruan tinggi, dan itu masih menjadi
perjuangan. Atau jika kita meminjam bahasa Foucault, kita dapat menyebutnya
sebagai perjuangan perebutan diskursus terkait seksualitas demi pencegahan
kekerasan seksual di masing-masing kampus. Salah satu upaya perebutan diskursus
tersebut yang diupayakan oleh penulis dan teman-teman penulis berupaya menjadi
sahabat dari para penyintas kekerasan seksual. Dengan menjadi pendamping korban
kekerasan seksual, maka berarti penulis menolak diskursus-diskursus usang tentang
seksualitas perempuan dan kekerasan seksual.
Berbicara tentang diskursus seksualitas yang penulis
dapatkan dari serangkaian teori dan pendampingan kekerasan seksual sangat
berbeda seperti pemahaman usang seksualitas yang dipercaya selama ini. Seksualitas
adalah tentang segudang kekayaan manusia secara biologis dan kodrati,
menyangkut apa yang fisik dan hal yang psikis. Sekaligus mengajarkan penulis
untuk lebih sensitif terhadap fenomena yang terjadi khususnya terhadap apa yang
dialami oleh perempuan. Bagaimana hal yang dianggap privat menjadi sebuah hal
yang sebenarnya menunjukkan kondisi politis suatu masyarakat.
Diskursus mengenai pengetahuan seksualitas
yang komprehensif dan berdasarkan kemanusiaan ini dijadikan landasan oleh
penulis dalam kegiatan-kegiatan pendampingan korban kekerasan seksual. Hal ini
juga menimbulkan kesadaran untuk membangun lingkungan yang aman dari budaya
dominasi dan hal hal yang memarjinalkan seorang penyintas kekerasan secara
seksual, fisik, psikis, ekonomi, budaya, dan politik haruslah segera dibangun
dalam tataran terkecil sekalipun. Mau tidak mau kita berhadapan dengan budaya
yang lama, budaya dominasi, budaya feodal yang tertanam dalam benak dan sistem
sosial di Indonesia. Hal ini haruslah segera diakhiri dengan diskursus budaya
yang lebih egaliter, yang lebih menganggap bahwa setiap orang berhak
mendapatkan keadilannya masing-masing dan melaksanakan kewajibannya sebagai
manusia yang memberi manfaat serta kebaikan untuk sesama.
Semoga
kita selalu insyaf dan sadar dari segala bentuk penindasan.
Penulis:
Hana
Editor:
Piu
.