Hai #SahabatAPIK 👋🏻
Masih dalam rangka Hari Perempuan Internasional, kami ingin memperkenalkan salah satu perempuan inspiratif dari Provinsi Sulawesi Tengah, Kak Feronika✨ Beliau adalah seorang Paralegal YLBH APIK Sulawesi Tengah. Kak Feronika juga tergabung dalam lembaga Gema Lentera yang merupakan komunitas LGBTQ+ di Sulawesi Tengah. Keinginan besarnya untuk ikut terlibat dalam pemenuhan akses perempuan dan anak korban membuat Kak Feronika gigih menyuarakan berbagai isu di SulTeng.
Kak Feronika berbagi kepada kami mengenai cerita pendampingan kasus yang ia lakukan. Mulai dari hambatan, keterbatasan hingga harapan. Mau tau bagaimana Ia bisa menjadi sosok perempuan yang inspiratif? Simak cerita perjalanan Kak Feronika dipostingan berikut yaaa!🥰✨
Feronika/Fey, S. Hut
(Paralegal YLBH Apik Sulawesi Tengah)
Feronika adalah seorang paralegal
dari YLBH APIK Sulawesi Tengah, selain menjadi paralegal inklusi di YLBH APIK
Sulawesi Tengah, ia tergabung menjadi seorang petugas lapangan untuk menjangkau
para PSP (Perempuan pekerja seks) untuk pencegahan HIV-AIDS, selain itu ia juga
tergabung dalam lembaga Gema Lentera, yaitu komunitas LGBTQ+ di Sulawesi
Tengah. Awal ketertarikan Feronika dalam mendalami isu-isu keperempuanan
dimulai pada saat adanya bencana Tsunami di Palu pada September 2018 silam,
pada saat itu ia tergabung dalam komunitas waria dan direkrut di sektor GedSi
yaitu Gender and Protection oleh YLBH APIK SulTeng untuk pemulihan saat
bencana dan tiga bulan setelahnya ia mengikuti kegiatan Pelatihan Paralegal
yang diadakan oleh YLBH APIK.
Sejak SMA Feronika melihat ada
banyaknya fenomena stigma dan diskriminasi dalam lingkungannya sendiri. Ia
berpendapat bahwa ia harus mencari dan mendapatkan ruang yang aman dan rumah
belajar yang juga membantu teman-temannya untuk mendapatkan perlakukan yang
adil serta menjadi ruang aman tanpa stigma dan diskriminasi khususnya bagi
transpuan agar dapat membangun citra yang baik didalam masyarakat dengan peduli
terhadap hak yang dimiliki perempuan dan anak, ataupun membantu mengadvokasi
kasus kekerasan yang menimpa perempuan ataupun anak dari pasca adanya bencana
Palu-Donggala 2018 silam.
Lebih dari 3 tahun lamanya Feronika
menjadi seorang paralegal inklusi di YLBH APIK SulTeng, tak selalu berjalan
dengan lancar, tantangan Feronika saat menjadi pendamping muncul dari ketakutan
masyarakat untuk melapor karena masih banyaknya anggapan bahwa jika melaporkan
dipandang menjadi sebuah dosa. Selain dari itu Pemerintah Desa terkait pun
kurang memiliki respon yang baik. Akses layanan menuju kepolisian pun sulit
untuk dijangkau oleh masyarakat dalam melaporkan kasusnya, seperti di Kabupaten
Donggala jika untuk menuju kepolisian harus menyebrangi ibukota Provinsi
terlebih dahulu. Dan terkadang proses BAP pun dilaksanakan secara dadakan
(Malam dihubungi dan besoknya harus sudah ada di kepolisian), selain dari itu
dalam proses BAP-nya itu sendiri mempertemukan antara penyintas dengan pelaku
langsung, hal inilah yang ia rasa akan menambah rasa trauma yang dialami oleh
penyintas. Keterbatasan lainnya muncul dari kurangnya fasilitas kepolisian
dengan tidak adanya unit PPA serta ruang khusus anak untuk proses laporannya.
Selain dari itu dalam proses
kebijakan visum di Kota Palu itu sendiri terdapat dua tempat visum gratis
seperti di Rumah Sakit Polisi (Umum) dan Rumah Sakit Undana. Proses dalam
mengakomodir penegak hukum di beberapa pengadilan YLBH APIK Sulteng bekerjasama
dengan Kementrian Hukum dan HAM dan memiliki POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) di
beberapa pengadilan, karena terbatasnya akses sebagai paralegal haruslah
dibantu pula oleh beberapa advokat atau pengacara untuk proses langsung didalam
pengadilan. Dan untuk menganggulangi
permasalahan tersebut ia sepakat dengan disahkannya RUU TPKS karena kebijakan
hukum tersebutlah yang nantinya membantu para penyintas untuk mendapatkan
keadilannya dimata hukum dan ia juga berharap bahwa DPR dan pemerintah membuat
lebih banyak kebijakan yang responsive gender dan juga menghargai kerja-kerja
advokasi NGO Perempuan yang terjun langsung terhadap konflik kekerasan terhadap
perempuan dan anak.
Dari banyaknya
hambatan yang dilalui oleh Feronika khususnya sebagai seorang transpuan ia
berpegang teguh untuk membangun brand image yang bagus, bahwa iapun
memiliki kemampuan serta andil dalam proses pendampingan kasus penyintas
kekerasan, ia selalu membangun komunikasi dua arah yang partisipatif, ia juga
sering berkunjung ke desa-desa dan bertemu dengan unit DP3A yang berada dalam
wilayah Kabupaten serta mengikuti kegiatan-kegiatan bersama para stakeholder,
DP3A Provinsi serta NGO Keperempuanan lainnya dan dari sanalah ia mendapat
pengetahuan, wawasan yang bisa ia terapkan dalam kehidupan sosialnya. Secara
ekspresi dan identitas gendernya pun ia tidak merasa malu karena ia merasa
bahwa ia turun di desa (melakukan advokasi) karna berniat untuk membantu
orang-orang yang selama ini takut dan tidak tahu akses layanan hukum.
Selain dari hal itu Feronika
berpesan untuk tidak pernah menyerah, karena bahwasannya jika telah terjun
menjadi paralegal inklusi yang harus dibangun adalah jiwa volunteernya
dan dari jiwa volunteer itulah kepedulian kita atas dasar kemanusiaan
itu tinggi dan ketika kita telah melakukan kerja-kerja baik yakinilah bahwa
Tuhan akan membalas dengan feedback yang baik juga dari Tuhan dan jika ada
hambatan ataupun masalah ia menyarankan untuk mengkomunikasinnya secara bersama
agar tidak menjadi sebuah konflik yang panjang.
#ParalegalMudaLBHAPIKJakarta
#DengardanSuarakan
#MendobrakBias
#IWD2022