Nur Aida Duwila
Salah
satu sosok perempuan hebat Nur Aida Duwila yang bekerja sebagai
advokat/pengacara dan selaku Direktur LBH Apik Jayapura. Memiliki kegemaran
menyanyi dan bercita-cita untuk dapat membantu perempuan serta anak korban.
Berawal dari mengikuti tes pengacara pada tahun 1999 dan harapan ayahnya untuk
menjadi seorang sarjana hukum, kemudian di tahun 2000 ia melaksanakan
pelantikan. Setelah pelantikan ia mengikuti teman-teman aktivis perempuan dari
LP3AP dengan para pengacara yang bukan orang asli Papua untuk membentuk suatu
lembaga perempuan yang bertujuan membantu perempuan Papua. Awal menjadi
pengacara ia mengikuti cara kerja teman-temannya yang merupakan pengacara
senior. Sejak awal ikut terbentuknya Lembaga Pengkajian Perempuan dan Anak
Papua, ia menjadi memiliki ketertarikan dan melihat secara langsung ternyata
banyak perempuan yang membutuhkan bantuan dari orang yang paham hukum. Kasus pertama
yang ia dampingi untuk pidana yaitu kasus suami yang memotong tangan istrinya
pada awal Undang-Undang PKDRT tahun 2002. Penanganan kasus di Papua yang
terjadi saat ini merupakan korban orang asli Papua dan juga pelaku, biasanya
dilakukan penyelesaian secara kekeluargaan.
Kesulitan yang dialami sebagai
pendamping yaitu tidak semua aparat penegak hukum baik itu Jaksa, JPU (Jaksa
Penuntut Umum), Polisi maupun Hakim memiliki perspektif perempuan dan anak.
Menurutnya untuk membangun kesadaran dan perspektif yang sama tentang perempuan
dan anak korban perlu intensitas. Ancaman yang dialami pada saat mendampingi
kasus di LP3AP ia pernah mendapatkan ancaman pembunuhan. Sebagai aktivis
perempuan rentan sekali terhadap ancaman apalagi ketika terdapat pihak yang
tidak suka dengan kehadiran kami dan kemudian mereka akan mencari latar
belakang kami untuk dijadikan senjata untuk menjatuhkan.
Ia menyampaikan bahwa saat ini
melihat beberapa korban perempuan yang berani bicara tetapi juga terkena victim
blaming. Dimana korban yang sudah berusaha membuka cerita hidupnya,
masyarakat tidak mendukungnya ibarat sudah jatuh ketimpa tangga, karena
disalahkan terus dan mencari penanganan psikologis sulit dan akhirnya
menggunakan konselor. Ia berharap RUU PKS untuk dapat segera disahkan karena
banyak yang membutuhkan terutama perempuan sebagai korban pemulihan dan
penanganan korban ada didalam RUU PKS, juga untuk mendukung sarana penanganan.
Ia berpesan untuk teman-teman
paralegal pendamping korban harus memiliki kekuatan hati dan jangan takut untuk
mendampingi korban, kesulitan akan didampingi oleh lembaga. Paralegal perlu
meningkatkan kapasitas supaya mereka paham bahwa pekerjaan ini memiliki
landasan hukum. Ia menghimbau untuk pejabat kampung untuk melindungi paralegal sebagai
pendamping korban dan juga pengakuan.