Siaran Pers:
“Setengah Hati Perlindungan Hukum
Korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam UU TPKS”
Jakarta, 18 April 2022
LBH APIK
Jakarta bersama SAFEnet mengapresiasi atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi sebuah Undang-Undang dalam
rapat Paripurna DPR RI antara DPR bersama Pemerintah pada Selasa, 12 April 2022
lalu. Namun, kami menilai perlindungan hukum yang disediakan untuk korban
Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik masih setengah hati.
UU TPKS hadir
dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan
pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini
tidak pernah didapatkan. Demikian pun, kami mencatat ada persoalan lain yang
perlu diperhatikan, yakni tidak diaturnya secara spesifik mengenai perkosaan
dan pemaksaan aborsi, serta pelindungan dan jaminan hukum bagi korban kekerasan
seksual berbasis elektronik (KSBE), atau yang biasa dikenal juga dengan istilah
kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Berdasarkan
catatan LBH APIK Jakarta setidaknya dalam kurun 4 tahun
terakhir dari 2018-2021, telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis
online (KSBO). SAFEnet sendiri mendokumentasikan 1.357 aduan kasus KBGO dari
2019-2021. Catatan ini tak berbeda jauh dari Komnas Perempuan yang mencatat
2.625 kasus KBGO dari tahun 2017-2020, yang selalu menunjukkan peningkatan
jumah aduan dari tahun ke tahun. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) dari tahun 2018-2020 melaporkan ada sebanyak 679 kasus kekerasan seksual
berbasis online terhadap anak-anak dengan mayoritas korbannya anak perempuan.
Data-data ini menegaskan
bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan saja terfasilitasi tetapi
beralih wujud dengan bantuan teknologi digital, mengingat pola patriarki dan
relasi kuasa menjadi persoalan utama sesungguhnya.
Dampaknya adalah perempuan dan anak rentan menjadi korban,
mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak
terkendali sehingga membuat korban mengalami trauma berkepanjangan yang
berdampak terhadap fisik, psikis, ekonomi, hingga hak-hak sipil dan politiknya,
termasuk juga mendapatkan stigma sosial.
Di dalam UU TPKS, KSBE diatur di
dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) yang terkait dengan tindak pidana berupa
perekaman/penggambilan gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan,
mentransmisikan informasi/dokumen elektronik yang bermuatan seksual, juga
penguntitan atau pelacakan yang menggunakan sistem elektronik pada orang yang
menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk
tujuan seksual, baik
dengan pemerasan, pengancaman, atau memaksa, juga menyesatkan/memperdaya
seseorang.
Namun,
pengaturan KSBE belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO yang
ditemukan oleh lembaga layanan. Dari 9 bentuk KSBO yang pernah ditangani oleh LBH APIK
Jakarta, masih ada 7 bentuk yang belum bisa terakomodir melalui UU TPKS, yakni
Pembuatan Materi/Informasi Elektronik yang bernuansa seksual tanpa dikehendaki,
Modifikasi materi/informasi yang bernuansa seksual, Penjualan materi/informasi
elektronik yang bernuansa seksual, Pelecehan Seksual, Eksploitasi Seksual dan
Perundungan Seksual berbasis elektronik. Senada dengan LBH APIK Jakarta, dari
14 bentuk KBGO yang diidentifikasi SAFEnet sepanjang 2021, bentuk seperti
morphing (pengeditan/modifikasi) informasi/dokumen elektronik menjadi yang
bermuatan seksual; atau doxing (penyebaran data pribadi) dengan nuansa
atau muatan seksual; atau phishing (upaya rekaya sosial untuk
mendapatkan data pribadi atau yang informasi yang sensitif) untuk tujuan
melakukan kekerasan seksual belum terakomodir melalui pasal tersebut.
Selain itu, catatan refleksi kondisi penanganan kasus KSBO
pada tahun 2021 oleh LBH APIK Jakarta terlihat kerangka hukum yang ada masih
belum berpihak kepada korban, terutama ditemukan pengaturan yang terbatas dalam
perundang-undangan mengenai KSBO, yang cenderung berpotensi mengkriminalisasi
korban, misalnya pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE tentang larangan distribusi,
transmisi dan dapat membuat diakses muatan kesusilaan.
Belum adanya pasal pengakuan (bridging article) dalam UU TPKS yang
menjamin tindak pidana KSBE wajib diproses dengan UU TPKS dan bukan pasal 27
ayat (1) UU ITE membuat pelindungan bagi kelompok rentan tidak akan optimal. Oleh sebab itu, LBH APIK Jakarta dan SAFEnet mendorong
kepada:
1. Pemerintah Pusat membuat aturan teknis pelaksana UU TPKS dengan
memperhatikan upaya pelindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata
atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan;
2.
Pemerintah Pusat membuat
aturan teknis penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi/dokumen elektronik
yang bermuatan TPKS melalui Peraturan Pemerintah dengan melibatkan korban dan
pendamping selama ini;
3.
Mendorong pemerintah pusat dan DPR untuk
merevisi pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE ataupun pasal UU ITE lainnya yang
dapat mengkriminalisasi korban kekerasan seksual sebagai bentuk harmonisasi
dalam UU TPKS;
4. Pemerintah Pusat dan DPR
melakukan harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan
tentang kekerasan seksual yang tersebar di luar UU TPKS dengan menjamin hak
korban dan ragam jenis, cara, modus dan tujuannya
sama didalam UU TPKS.
Narahubung:
1.
Hotline
LBH APIK Jakarta: 081287594849
2. Hotline SAFEnet: 08119223375 / info@safenet.or.id