Kesehatan Perempuan dan Hilangnya Otoritas Tubuh Perempuan
Tanggal 28 Mei diperingati sebagai Hari Aksi Internasional Kesehatan Perempuan, salah satu isu yang kerap muncul ketika membicarakan kesehatan perempuan ialah hilangnya otoritas tubuh perempuan. Bagaimana hilangnya otoritas tubuh perempuan mempengaruhi kondisi kesehatan perempuan digambarkan dengan sangat baik dalam cerita pendek yang berjudul The Yellow Wallpaper. Cerita ini merupakan pengalaman pribadi si penulis, Charlotte Perkins Gilman, yang mengalami gangguan depresi pasca melahirkan. Kondisi itu kemudian diperparah dengan pengekangan yang dilakukan oleh suami dan keluarga suaminya, alih-alih memberi perawatan. Suaminya yang berprofesi sebagai dokter membatasi kegiatan fisik istrinya sehabis melahirkan dan menempatkannya dalam sebuah kamar berdinding kuning. Semasa “pemenjaraannya” tersebut, tidak ada kegiatan yang boleh dilakukan tokoh istri sehingga pada akhirnya muncul delusi-delusi tentang dinding kuning dalam kamar. Puncaknya, tokoh istri tersebut berteriak histeris dan mengacak-ngacak dinding kuning karena melihat ada sosok perempuan dalam dinding kuning tersebut.
Dalam The Yellow Wallpaper, Gilman mengisahkan tokoh suami memegang kendali seutuhnya atas tubuh istri, yaitu dengan membatasi aktivitas istrinya pasca melahirkan karena dianggap akan menyembuhkan kondisi psikis yang dideritanya. Sosok suami merasa dirinya paling mengetahui apa yang terbaik untuk diri istrinya tanpa mendengarkan apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan istrinya. Segala keputusan yang diberikan untuk istrinya adalah berdasarkan sudut pandangnya sebagai laki-laki. Tentunya hal ini merupakan sebuah pola khas yang dapat kita temui dalam keluarga patriarki.
Apa yang terjadi dalam cerita The Yellow Wallpaper tentunya pernah dirasakan pula oleh beberapa perempuan dalam kehidupan nyata. Seperti, istri yang dilarang untuk memakai kontrasepsi dengan alasan si suami menginginkan anak yang banyak karena banyak anak, banyak rejeki. Atau, istri diwajibkan melahirkan dengan cara persalinan pervaginam, padahal kondisi fisik istri tidak memungkinkan. Dalam kasus lain, mungkin kita juga pernah mendengar korban perkosaan diyakinkan untuk menerima kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun kondisi fisik dan psikis mereka masih sangat rentan. Contoh-contoh tersebut tentunya mengingatkan kita terhadap pergerakan feminisme gelombang kedua yang menuntut hak otoritas tubuh dalam urusan kesehatan karena marak sekali pemaksaan sterilisasi dan segala tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan perempuan pada masa itu. Ternyata memang pengabaian otoritas tubuh perempuan dalam isu kesehatan masih harus diperjuangkan terus-menerus tidak peduli di zaman apapun itu.
Adanya kontrol atas tubuh yang memperburuk kondisi kesehatan perempuan tidak bisa kita lepaskan begitu saja dari konteks bias gender dalam masyarakat. Masyarakat normatif menganggap bahwa laki-laki yang lebih superior dari perempuan serta merta didapuk untuk menentukan kehidupan perempuan. Laki-laki juga dianggap paling berhak mendapatkan pendidikan tinggi menyebabkan lebih banyak tenaga medis laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini nyata terjadi karena Gilman memang ditangani oleh dokter laki-laki yang sangat mungkin tidak memahami pengalamannya sebagai perempuan. Dan bukan rahasia lagi bahwa pada abad 90 pengetahuan mengenai ilmu sains yang dicirikan dengan objektivitas sebenarnya dibangun atas dasar pemahaman laki-laki. Dibuktikan dengan masih sangat sedikitnya tenaga medis perempuan zaman itu. Selain itu, pengalaman subjek, yaitu pasien perempuan, dianggap sebagai hal yang tidak objektif. Padahal justru dengan memahami apa yang dialami oleh pasien perempuan maka dapat diberikan sebuah solusi yang tepat untuk permasalahannya.
UU TPKS hadir untuk melindungi perempuan dari ancaman hilangnya otoritas tubuh dalam tindakan medis. Dikarenakan UU TPKS mengatur larangan dan sanksi untuk pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, serta pemaksaan perkawinan yang nantinya dapat mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan. Hal penting lainnya ialah diperlukan sebuah mekanisme pencegahan yang berbasis pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif. Di dalam pembelajaran tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif bukan hanya mengajarkan tentang sistem dan organ reproduksi. Melainkan, adanya materi tentang keragaman gender dan seksualitas. Hal ini berguna agar mitos-mitos yang selama ini hadir dalam masyarakat tentang gender dan seksualitas dibongkar dan tergantikan dengan pengetahuan baru yang lebih baik. Tujuan akhir yang hendak dicapai dari adanya pendidikan ini adalah tercipta perspektif yang lebih humanis dalam masyarakat. Nantinya, tidak ada lagi anggapan satu gender lebih superior dan dapat mengontrol gender lainnya, serta mencegah diskriminasi gender dan seksualitas tertentu.
Sementara itu, dalam Beijing Platform yang diadakan tahun 1995, menuntut diintegrasikannya perspektif gender dalam dunia medis. Di dalam dunia medis, dan bidang lainnya, banyak sekali ditemukan bias gender. Untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam dunia medis, selain dengan memperbanyak penelitian tentang perempuan dalam dunia medis dan juga memperbanyak kesempatan perempuan berkarir dalam bidang tersebut. Berarti, diperlukan peningkatan kapasitas perspektif gender bagi para tenaga medis sehingga nantinya mereka juga dapat turut berkontribusi dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual pasien-pasiennya. Sehingga, tidak ada lagi kasus di mana korban perkosaan dipaksa untuk menerima kehamilan yang tidak diinginkan. Justru seharusnya dokter dapat merekomendasikan pilihan aborsi legal dan aman bagi korban perkosaan. Atau mereka dapat turut menciptakan ruang aman bagi para pasiennya dan melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa pasiennya sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS.