Beranjak remaja, penulis masih terus melihat opresi patriarki ini merajalela di masyarakat. Kemudian timbul pertanyaan: Apakah hanya lingkungan saya saja atau kita semua tinggal dalam dunia laki-laki? Tentunya penulis yang saat itu kesulitan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak tahu istilah “Patriarki”. Namun, satu hal yang cukup menjadi highlight dari masa remaja penulis adalah bagaimana patriarki juga membentuk kepribadian laki-laki sehingga selalu ada kalimat “namanya juga laki-laki.”.
Kalimat klise diatas selalu diulang-ulang dalam obrolan seks dan gender yang tentunya dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena ketabuan topik tersebut dalam masyarakat. Dalam obrolan mengenai seks dan gender yang dilakukan remaja tanggung dengan segala ketidaktahuannya, hanya ada dikotomi tentang apa yang bisa dilakukan laki-laki dan apa yang tidak menurut kacamata masyarakat patriarki. Tentunya segala sesuatu yang menunjukkan dominasi laki-laki dirayakan dan dijunjung tinggi. Seperti contoh maskulinitas dalam berpakaian, harus macho, jago berantem dan punya hobi keranjingan bersiul kepada para siswi yang risihnya setengah mati. Sementara, hal-hal yang bersifat feminin dalam diri laki-laki ditekan sedemikian rupa karena dianggap kelemahan. Contohnya, sifat lemah lembut, kerjasama, kebebasan berekspresi dalam berpakaian dll.
Setelah dewasa dan bertemu dengan orang yang berpikiran sama, maka penulis akhirnya berkenalan dengan istilah patriarki. Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan di berbagai lini kehidupan tentunya sangat tidak ramah terhadap kaum perempuan yang sejak kemunculan manusia pertama di bumi sudah diopresi habis-habisan. Akhirnya penulis paham bahwa opresi terhadap perempuan terjadi secara struktural dan masif. Bahwa kita, perempuan, hidup dalam dunia laki-laki. Tentunya hal ini tidak mengejutkan dalam praktiknya, namun secara konseptual hal ini menyadarkan penulis bahwa perempuan selalu dalam mara bahaya.
Kesadaran ini membuat penulis merasa bahwa harus ada tindakan kolektif untuk merubah keadaan yang sudah terjadi sejak lama. Namun muncul kembali pertanyaan: apakah ini pekerjaan perempuan saja atau laki-laki dengan statusnya sendiri mampu menjadi sekutu dalam memperjuangan kesetaraan perempuan?
Menurut Sandra L. Bartky, perjuangan pembebasan perempuan dari opresi patriarki didominasi oleh perempuan yang tidak memasukkan laki-laki karena gerakan ini menganggap laki-laki adalah musuh utama. Mayoritas menganggap “all men oppress all women”. Sudah jelas bahwa laki-laki tidak mempunyai tempat dalam ruang pergerakan. Namun, hal ini sangat disayangkan oleh Bartky. Menurutnya, tentu gerakan pembebasan perempuan seharusnya dipimpin oleh perempuan dan menjawab permasalahan mereka. Namun, alangkah lebih baik mengikutsertakan laki-laki dalam gerakan ini. Bartky pun juga menulis bahwa dalam dunia patriarki, pengenaan identitas gender maskulin pada laki-laki sama menyakitkannya dengan pengenaan identitas gender feminine terhadap perempuan. Sehingga rasa sakit yang diderita laki-laki karena tuntutan maskulinitas beracun berfungsi sebagai motif komprehensif laki-laki dalam mendukung gerakan kesetaraan gender.
Laki-laki seperti ini tentunya layak mendapatkan ruang dalam pergerakan, selain merasakan sakit yang diderita perempuan dengan cara yang berbeda. Mereka mendengarkan kesulitan dan belajar dari pengalaman perempuan. Tentunya kita dapat sama-sama belajar untuk memperkuat gerakan. Lebih lanjut, Bartky menyebut laki-laki dengan ciri-ciri tersebut sebagai “pengkhianat gender”. Dan sudah saatnya perempuan dan “pengkhianat gender” bersatu dalam gerakan kesetaraan gender yang sama-sama akan membebaskan laki-laki dan perempuan dari opresi patriarki.
Penulis: Fitri
Editor: Piu