Siaran Pers LBH APIK Jakarta
15 Oktober 2022
"IMPLEMENTASIKAN UU PKRDT,
PUTUS IMPUNITAS PELAKU DAN LINDUNGI KORBAN KDRT"
Pada 28 September 2022 kita mendengar berita laporan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dialami salah seorang public figure di Indonesia yaitu LK (korban) kepada suaminya RB (tersangka) di Polres Jakarta Selatan. 13 Oktober 2022 Polres Jakarta Selatan telah menetapkan pelaku sebagai tersangka dan ditahan, namun pada hari yang sama korban mencabut laporannya karena tersangka adalah bapak dari anaknya, mengakui dan tidak akan mengulangi perbuatanya. Kasus ini cukup menjadi perhatian publik, banyak masyarakat melalui media sosial menyatakan kekecewaannya kepada LK. LK merupakan satu dari gambaran ribuan korban KDRT yang berani melapor ke kepolisian, lembaga layanan, maupun Komnas Perempuan setelah menjadi korban berulang.
Berdasarkan data pengaduan ke LBH APIK Jakarta, dari Januari-September 2022 kasus KDRT yang datang meminta bantuan hukum sebanyak 202 kasus, namun yang berani melaporkan dan kasusnya diterima oleh kepolisian hanya 4 kasus. Mengingat sulitnya situasi dan kondisi korban serta tidak adanya dukungan dari penegak hukum untuk memproses kekerasan dalam rumah tangga sebagai bagian dari tindak pidana. Padahal bentuk KDRT yang dialami korban tidak tunggal, mereka yang menjadi korban kekerasan fisik kerap kali disertai dengan kekerasan psikis, penelantaran hingga kekerasan seksual.
UU PKDRT lahir sebagai terobosan hukum yang memberi perlindungan terhadap perempuan, anak, pekerja rumah tangga, relasi lainnya dalam perkawinan, kekerabatan dan siapa saja dalam lingkup rumah tangga yang sebelumnya dianggap tidak dapat dicampuri oleh negara. UU PKDRT bertujuan untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU PKDRT.
Penyelesaian KDRT yang telah dilaporkan kepada Kepolisian, kemudian laporan dicabut atau dihentikan oleh kepolisian dengan menggunakan mekanisme restorative justice menunjukkan bahwa KDRT masih dianggap tindak pidana ringan dan delik aduan. Sehingga tidak jarang korban KDRT memilih perceraian sebagai langkah memutus mata rantai kekerasan dalam rumah tangga yang dialami. Padahal situasi kasus KDRT dapat berdampak pada gangguan psikososial, menjadi disabilitas, keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan dan kehilangan rasa percaya diri. Oleh karena itu upaya pemulihan korban menjadi prioritas utama sebagaimana diatur dalam UU PKDRT.
Maka dari itu dalam melihat kasus KDRT yang terjadi, LBH APIK Jakarta merekomendasikan :
1. Kepolisian tidak menjadikan kasus KDRT sebagai pidana ringan atau delik aduan khususnya kekerasan fisik dan psikis berat yang mengakibatkan korban jatuh sakit, luka berat, dan yang menyebabkan cacat permanen hingga penderitaan psikis berat pada korban sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat (1-3) dan pasal 45 ayat (1) UU PKDRT.
2. Kepolisian memberikan perlindungan (sementara) dan mengajukan permohonan perintah perlindungan bagi korban KDRT ke Pengadilan sehingga korban mendapatkan perlindungan ketika berani melaporkan kasusnya keproses hukum. Untuk memberikan keamanan bagi korban agar tidak diintimidasi, diancam, dan teror dari pelaku, keluarga dan kuasa hukumnya.
3. Hakim mengimplementasikan mandat UU PKDRT pasal 50 poin (a) yang mengatur tentang pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku. Poin (b) penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.
4. Aparat Penegak Hukum Memberikan hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga atas keamanan, keadilan, pemulihan dan jaminan ketidakberulangan.
5. Pemerintah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya kekerasan dalam rumah tangga dan ancaman tindak pidana.
Baca selengkapnya dalam siaran pers berikut.