
Istilah PRT atau Pekerja Rumah
Tangga bukanlah menjadi istilah yang asing dan kerap digunakan untuk
mendefinisikan pekerja atau orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan rumah
tangga dalam sebuah hubungan kerja (ILO, 2018). Sebelum istilah Pekerja Rumah Tangga
diadvokasikan, masyarakat awam lebih akrab dengan istilah “Pembantu Rumah
Tangga” atau “Asisten Rumah Tangga”. Adapun istilah kuno tersebut seharusnya
tidak lagi digunakan, karena dengan menggunakan istilah Pekerja Rumah Tangga,
kita menghargai pekerja di sektor rumah tangga dan memandangnya setara dengan
pekerja di sektor formal.
Khususnya di Indonesia, data Survei
Tenaga Kerja Nasional dari International Labour Organization mencatat bahwa
pada tahun 2015 jumlah PRT di Indonesia mencapai 4 juta orang (ILO, 2015). Sama
seperti pekerja di sektor formal lainnya, ILO mencatat bahwa rata-rata PRT di
Indonesia bekerja mulai dari 6 hingga 7 hari dalam seminggu dimana 28% pekerja
rumah tangga dewasa hanya berpenghasilan sebesar 1 Juta Rupiah setiap bulannya.
Tidak hanya pekerja dewasa, banyak sekali anak-anak di bawah umur yang putus
sekolah dan kemudian bekerja sebagai PRTA atau Pekerja Rumah Tangga Anak.
Menurut International Domestic Workers Federation, seorang anak yang bekerja
berada dalam situasi yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan oleh
undang-undang, dimana situasi yang tidak diperbolehkan merujuk pada pekerjaan
yang membahayakan kondisi fisik, mental atau moral, memiliki dampak buruk
terhadap pendidikan mereka dan dilakukan dalam kondisi berbahaya yang merujuk
pada perbudakan (IDWF, 2017).
Adapun salah satu alasan mengapa
pemberi kerja memilih anak di bawah umur untuk dipekerjakan adalah pekerja anak
dianggap lebih menurut, selain itu pekerja anak dianggap lebih murah daripada
pekerja dewasa, pekerja anak juga lebih mudah diatur serta tidak dapat
melarikan diri dari pemberi kerja mereka (Satriawan, 2021). Namun alih-alih
memperlakukan pekerja anak atau PRTA sebagaimana mestinya, pada kenyataannya
banyak sekali kasus kekerasan yang dialami oleh PRTA ketika bekerja. Salah satu
kasus terjadi pada tahun 2016 lalu di mana empat PRT di bawah umur mengalami
penganiayaan fisik dan psikis hingga upah yang tidak dibayarkan (Kompas.com,
2016). Tidak sedikit pula kasus dimana PRT atau PRTA memutuskan untuk membiarkan
kekerasan yang mereka alami dengan alasan mereka tidak memiliki uang dan masih
membutuhkan upah yang dijanjikan oleh pemberi kerja.
Menurut Kementerian Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia, salah satu faktor anak menjadi rentan
dipekerjakan adalah kemiskinan. Kemiskinan menghambat anak untuk melanjutkan
pendidikan sehingga membuat mereka putus sekolah dan terpaksa membantu orangtua
mereka dengan bekerja untuk menambah perekonomian keluarga (KemenPPPA, 2020).
Anak-anak yang bekerja sebagai PRTA berada dalam kondisi rentan terhadap
kekerasan dan jika hak-hak PRTA sebagai pekerja tidak terpenuhi, maka hal
tersebut dapat dianggap sebagai salah satu bentuk dari perbudakan modern.
Seringkali proses hukum yang berat sebelah menyebabkan PRTA yang mengalami
kekerasan kemudian mengalami viktimisasi berganda. Tidak hanya dirugikan secara
fisik dan material, namun hal tersebut menempatkan pekerja anak pada kerentanan
terhadap masalah kesehatan jiwa (Setiawan et. al, 2019:248).
Di Indonesia sendiri, sudah ada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada Pasal
68 yang membicarakan terkait larangan mempekerjakan anak di bawah umur.
Kemudian mengapa masih ada istilah pekerja anak? Salah satu tantangan penerapan
undang-undang yang ada yakni perilaku dan pandangan dimana orangtua (atau wali)
dari anak-anak adalah pihak utama dalam pengambilan keputusan untuk anak. Hal
ini seringkali menempatkan anak dalam posisi rentan yang membahayakan fisik
maupun kesehatan jiwa anak (ILO, 2017:90). Selain itu, menjadi Pekerja Rumah
Tangga juga dianggap sebagai bagian dari sektor ekonomi informal dimana
pekerjaan ini seringkali berada di luar cakupan Undang-Undang Ketenagakerjaan
(ILO, 2017:91). Undang-Undang Ketenagakerjaan nampaknya belum cukup untuk
melindungi hak-hak PRT khususnya PRTA. Maka dari itu, peraturan
perundang-undangan yang membahas khusus terkait PRT dan perlindungan anak
khususnya anak yang bekerja menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam
advokasi hukum.
Namun, nampaknya perjalanan untuk
melindungi anak-anak khususnya pekerja anak masih panjang. Maka dari itu,
tindak intervensi paling dasar yang dapat dilakukan adalah meningkatkan
kesadaran dan advokasi perlindungan anak dan perlindungan pekerja rumah tangga
khususnya pekerja anak. Advokasi dapat dilakukan dalam bentuk kampanye sehingga
menambah visibilitas pengetahuan terkait pekerja anak dalam pekerjaan rumah
tangga. Dari segi kebijakan, perlu adanya aturan yang melindungi kondisi kerja
dan hidup untuk pekerja muda yang disertai dengan mekanisme pengaduan, bentuk
hukuman, hingga akses kepada layanan keadilan.
International
Labour Organization. (2017, September 11). Menanggulangi
Pekerja Anak di Sektor Rumah Tangga. Diakses melalui :
International
Labour Organization. (2015). Pekerja
Rumah Tangga di Indonesia. Diakses melalui :
International
Labour Organization. (2018, Januari 25). Mengakhiri
pekerja anak dalam pekerjaan rumah tangga. Diakses melalui :
Setiawan, P., et al. (2019). Jiwa Sehat, Negara Kuat : Masa Depan Layanan
Kesehatan Jiwa di Indonesia (Volume 2). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Kompas.
(2016, Februari 13). Empat PRT yang
Dianiaya Masih di Bawah Umur dan Tidak Diupah. Diakses melalui :
Satriawan, D. (2021). Pekerja Anak
Sektor Informal di Indonesia: Situasi Terkini dan Tantangan ke Depan (Analisis
Data SUSENAS 2019). Jurnal
Ketenagakerjaan, 16(1), 1-12.
Kemenpppa
(2020, Juli 29 ). Sebelas Juta Anak
Berpotensi Menjadi Pekerja Anak di Masa Pandemi, Pentingnya Sinergi Melakukan
Pencegahan. Diakses melalui :