18 Tahun Refleksi Pengajuan RUU PPRT: Pemaknaan Penting Interseksionalitas yang Terkandung di Dalamnya

 

LBH APIK Jakarta bersama Rutgers dan Jala PRT baru saja mengadakan workshop terkait sosialisasi RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) bersama orang muda pada tanggal 5-6 Agustus 2022 kemarin. Workshop ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan terhadap para admin akun feminis muda terkait dengan urgensi RUU PPRT dan kekerasan di dunia kerja, terkhusus lagi bagi pekerja rumah tangga. Harapannya workshop ini dapat mendorong advokasi, khususnya dalam bidang kampanye, untuk segera mengesahkan RUU PPRT yang sampai saat ini belum kunjung disahkan.

RUU PPRT pertama kali diusulkan pada tahun 2004. Tepat tahun 18 tahun setelahnya, yaitu di tahun 2022, bisa dipastikan tentang satu hal: tidak ada kemajuan signifikan terkait pengesahan RUU ini. Upaya - upaya seperti diskusi dan advokasi tidak pernah terputus dan selalu digalakkan dengan tujuan utama rekognisi hak-hak pekerja rumah tangga. Pada idealnya, perlu ada basis hukum bagi perlindungan hak bagi pekerja rumah tangga yang diakui sebagai pekerja formal. Dengan molornya pengesahan RUU PPRT, pemerintah seakan ‘tutup mata’ terhadap rangkaian isu kekerasan dan eksploitasi dalam lingkup pekerjaan domestik yang selama ini terjadi.

Komnas Perempuan melalui catatan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mengungkapkan 2.148 kasus yang dialami oleh PRT dengan berbagai bentuk, antara lain kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi pada kurun waktu 2015-2019. Pada 2020-2021, data kekerasan pekerja rumah tangga juga dihimpun oleh JALA PRT, yaitu sebanyak 400 kasus. Direktur Institut Sarinah, yaitu Eva Sundari juga menerangkan hal kurang lebih sama. PRT memiliki kondisi kerentanan tinggi dan terdapat potensi praktik perbudakan modern antara majikan dan pekerjanya. Disamping itu, Pekerja Rumah Tangga juga lekat dengan label stigma negatif; seperti centil, bodoh, pemalas, atau penyebab rusaknya rumah tangga majikan (pelakor), dan berbagai stigma negatif lainnya.

Bicara tentang hak-hak pekerja rumah tangga, berarti juga bicara tentang isu kelas serta gender. Kedua hal ini menjadi berkesinambungan sebagai bahasan interseksi yang menjadi faktor penghambat RUU PPRT ini tak kunjung disahkan. PRT yang sebagian besar adalah perempuan dengan latar belakang pendidikan yang cukup rendah menjadi salah satu hal yang perlu dihiraukan. Ketika perempuan pekerja rumah tangga mendapat tindakan kekerasan oleh majikannya, mereka cenderung sulit untuk mendapatkan akses keadilan karena sumber daya yang terbatas; relasi kuasa yang membuat mereka tidak bisa melawan; serta tertutupnya locus kekerasan, yaitu bertempat di ranah privat yaitu rumah.

RUU PPRT bukan hanya kebijakan yang bersinggungan dengan PRT itu sendiri, namun juga kebijakan yang mengatur majikan atau pemberi kerja. RUU PPRT mengakui PRT sebagai pekerja formal harus mendapat kontrak kerja dengan bahasan waktu, gaji, dan pesangon yang jelas. Pasalnya, pihak legislatif yang berwenang untuk mengesahkan RUU ini merupakan pemberi kerja (majikan) yang menjadikan proses pengesahan cukup panjang karena adanya bias kelas. Peran orang-orang di balik bangku legislatif berbenturan dengan peran mereka sebagai majikan/pemberi kerja, menganggap bahwasannya RUU PPRT dapat merugikan posisi mereka sebagai pemberi kerja.

Disamping itu, faktor kebahasaan juga menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan. Terminologi Pembantu/Asisten Rumah Tangga merupakan salah satu barrier yang ada dalam perjalanan RUU ini. Karena istilah ‘pembantu’ yang sering disematkan, pekerja rumah tangga kerap kali tidak mendapatkan hak-hak pekerja yang seharusnya mereka dapatkan sebagai pekerja. Pengakuan PRT sebagai pekerja jelas masih belum mumpuni; anggapan PRT merupakan orang yang membantu/mengalihkan pekerjaan domestik dianggap sebagai orang tidak bekerja. Kemudian, terdapat juga aspek kultur-kultur tertentu dengan terminologi lainnya seperti babu, jongos, ngenger, atau budak yang masih dipakai dapat menghasilkan suatu tindakan yang menormalisasi ketidakadilan dalam pekerjaan mereka. Pemaknaan istilah pekerja juga dianggap mengancam sisi “gotong royong” dalam kultur masyarakat Indonesia. Akibatnya, Pekerja Rumah Tangga mengalami overworked karena jam kerja yang tidak menentu, gaji yang tidak setimpal, dan tidak terpenuhinya jaminan pekerja yang semestinya seperti asuransi. Walaupun terlihat sepele, aspek kebahasaan menjadi kunci yang sangat penting dalam pengakuan hak-hak PRT sebagai pekerja formal yang layak.

Dalam lingkup media, dinamika RUU PPRT belum menjadi sorotan menarik, sehingga publisitas RUU PPRT ini dapat dikatakan cukup rendah. Media saat ini belum memberikan ruang yang cukup bagi pengangkatan isu PRT yang sarat dengan isu kelas. Isu PRT atau pekerja adalah isu yang cukup sulit masuk dalam ranah media massa karena media yang bersifat mengikuti pasar serta adanya bias kelas di media dalam memproduksi suatu konten media. Lalu, jika media tidak berperan dalam menyebarkan urgensi hak-hak pekerja rumah tangga, bagaimana masyarakat bisa sadar mengenai pentingnya pengesahan RUU PRT?

Dengan demikian, berbagai aspek dan perspektif perlu dipahami guna mengevaluasi dan berdiskusi kembali tentang mengapa— RUU ini sangat panjang perjalanannya untuk disahkan. Diperlukan kacamata interseksionalitas dalam melihat kerentanan yang terjadi dalam fenomena kekerasan pekerja rumah tangga, sehingga didapatkan pemetaan masalah yang dapat diselesaikan secara efektif. Disamping itu semua, publisitas RUU PPRT ini perlu dinaikkan secara maksimal, bukan hanya pada lingkup diskusi formal terhadap pemerintah, namun juga diskusi dan advokasi informal dengan anak-anak muda serta masyarakat umum, baik di media sosial ataupun pada kehidupan nyata.

Ditulis oleh: Tsaltsa Arsanti


Referensi

Andriansyah, A. (2022, Januari 1). JALA PRT: 400-an Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan pada 2012-2021. [VoA Indonesia] . Diakses 29 Agutus 2022 Pukul 16:27 https://www.voaindonesia.com/a/jala-prt-400-an-pekerja-rumah-tangga-alami-kekerasan-pada-2012-2021/6399197.html 

Komnas Perempuan. (2021, Februari 15). Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional. Diakses 29 Agutus 2022 Pukul 16:27 melalui https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-peringatan-hari-pekerja-rumah-tangga-prt-nasional-15-februari-2021

Prabowo, H. (2020, Juli 1) RUU PPRT Resmi Jadi RUU Inisiatif DPR Setelah 16 Tahun Mangkrak. [Tirto.id] Diakses 29 Agutus 2022 Pukul 16:27 melalui https://tirto.id/fMLh

Subscribe Text

Untuk selalu terhubung dengan kami