
Perempuan selalu menjadi pihak yang rentan dalam kondisi konflik maupun pasca konflik. Keberadaan perempuan dijadikan alat untuk melancarkan opresi. Saat ini aktivis perempuan pun masih dalam situasi yang rentan. Kekerasan dan diskriminasi terhadap aktivis perempuan berkontribusi pada terhambatnya proses demokrasi dan akan berdampak pada mundurnya demokrasi. Sampai saat ini perundungan terhadap aktivis perempuan masih terjadi, mereka mendapatkan kerentanan berlapis terhadap identitasnya juga karena gendernya. Masyarakat sering memandang para aktivis perempuan sebagai orang yang membangkang dan sering memprovokasi massa hingga berhadapan dengan hukum.
PPHAM memiliki ranah pekerjaan dalam menegakkan hak-hak perempuan yang dalam perjalanannya menimbulkan kerentanan bagi para pembela Hak Asasi Manusia yang berjenis kelamin perempuan, karena berhadapan langsung dengan berbagai kerentanan dan risiko. Sebagian besar dari PPHAM mendapatkan risiko kriminal seperti, menjadi korban pembunuhan, penghilangan secara paksa, penangkapan tanpa prosedur yang jelas dan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya. Pelanggaran HAM yang dialami oleh PPHAM dikarenakan tidak adanya dukungan dan perlindungan hak-hak komprehensi seperti, hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak sosial.
Posisi strategis sebagai perempuan pembela ham dalam pembangunan dapat dilihat dari adanya keterlibatan perempuan dalam gerakan yang kemudian menghasilkan transformasi dan rekayasa sosial untuk mendukung pengembangan dan pemberdayaan. Keterlibatan perempuan dan dalam partisipasi yang diberikan secara aktif pada beberapa sektor publik dan organisasi sosial telah memberikan jalan baru terhadap proses rekonstruksi sosial masyarakat. Berbagai bentuk upaya dan kerja perlindungan hak asasi yang telah dilakukan oleh PPHAM tidak dapat menunjukkan hasil yang signifikan dengan jaminan hak perlindungan dan jaminan hak kepastian hukum bagi para PPHAM. Bantuan untuk perempuan pembela ham, usaha pemberdayaan, penggerakan perdamaian yang ditujukan untuk perempuan sering tidak dilakukan secara optimal.
Hal tersebut tentu memberikan beban kerja yang berat dalam organisasinya, bahkan melakukan pekerjaan ganda, karena PPHAM memiliki lebih dari satu tanggung jawab pekerjaan dalam pembelaan Hak Asasi Manusia seperti, membantu korban, ikut memberdayakan komunitas, melakukan penyelidikan dan dokumentasi, serta berperan dalam melakukan advokasi kebijakan. Selain itu di luar ranah pekerjaan PPHAM memiliki peran dalam keluarga mereka, hal inilah yang kemudian terjadi akumulasi kronis stres fisik, psikologis, ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh resiko yang tinggi, ancaman, kekerasan dan kerentanan pada PPHAM dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Oleh karena itu ketika risiko kesehatan terjadi PPHAM merasa kesulitan untuk melaporkan situasi mereka dan mendapatkan hak untuk akses dukungan dan perlindungan. Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk melindungi para aktivis perempuan? Negara dapat menjangkau peran aktivis dan tidak lagi menganggap sebagai pembangkang melainkan sebagai mitra. Komnas Perempuan dapat lebih kuat dalam melakukan negosiasi perundang-undangan, mengarahkan pembuatan kebijakan publik soal perempuan, ikut menyelidiki kasus kekerasan terhadap perempuan, dan pemerintah seharusnya dapat memberikan tanggung jawab dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan.
Landasan utama dalam perlindungan Hak Asasi Manusia adalah kewajiban bagi pemerintah merupakan prinsip demokrasi yang sesungguhnya, bahwa pemerintah diberikan amanah kekuasaan untuk melindungi hak-hak warga negara dan mengupayakan pemenuhan hak-hak tersebut khususnya pada hak atas kesehatan. Negara dapat berupaya menghormati, melindungi dan memenuhi kewajibannya dengan mengimplementasikan norma-norma HAM pada hak atas kesehatan yang memenuhi prinsip-prinsip:
Ketersediaan pelayanan kesehatan
Aksesibilitas
Penerimaan
Kualitas
Dasar hukum terkait hak atas kesehatan yang dapat digunakan dalam sistem PPHAM yaitu, UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Jaringan advokasi bersama dari berbagai pihak baik masyarakat, lembaga layanan dan pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung realisasi pemenuhan hak atas kesehatan sebagai salah satu kewajiban negara.
Reference:
Intania, H., & Amelia, R. (2022). Perlindungan Pembela HAM atas Hak Kesehatan di Jawa Tengah. LITERATUS, 4(1), 257-262.
Cahyani, DN (2007), PEREMPUAN PEMBELA HAM: Berjuang dalam Tekanan. Jakarta: Komnas Perempuan.
Muhtaj, M (2009), Dimensi-dimensi HAM: Mengurai hak ekonomi, sosial, dan budaya, Jakarta: Rajawali Pers
Hasanah, H. (2013). Peran Strategis Aktivis Perempuan Nurul Jannah Al Firdaus dalam Membentuk Kesadaran Beragama Perempuan Miskin Kota. INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 7(2), 473-492.
https://www.jentera.ac.id/publikasi/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan-perkuat-peran-komnas-perempuan-2