
Kesadaran beragama merupakan kondisi secara sadar dan mengetahui potensi, serta melaksanakan nilai-nilai moral agama. Setiap manusia memiliki tugas sebagai pemimpin dalam dirinya yang harus diarahkan dan dikembangkan. Menurut berbagai studi literatur menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama termasuk sikap toleransi yang menjadi indikator dari kerukunan tersebut masih menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Tingkat toleransi di berbagai daerah beragam sehingga penanganan dalam setiap persoalan di wilayah tidak dapat disamaratakan. Karakteristik penduduk yang beragam menjadi persoalan dalam hal toleransi, ini perlu ditangani supaya potensi terjadinya konflik dapat dicegah.
Terdapat konsep yang digunakan sebagai alat ukur toleransi sosial, seperti konsep Bogardus yang populer dengan sebutan social distance scale, dalam konsep tersebut dijelaskan bahwa jarak sosial pada dasarnya diukur dari seberapa besar rasa simpati yang dirasakan individu maupun kelompok lain yang memiliki perbedaan dengan dirinya. Namun konsep ini tidak secara khusus membahas mengenai toleransi antar umat beragama.
Toleransi beragama secara eksplisit tidak mudah ditemukan dan sebagian besar studi mengenai toleransi beragama lebih banyak menjelaskan sikap toleran. Definisi toleransi diartikan sebagai sikap untuk tidak mencampuri maupun mengintervensi urusan atau perilaku pihak lainnya. Pada konteks hubungan antarumat beragama, intoleransi muncul ketika ada prasangka terhadap individu maupun kelompok lain yang berada diluar dirinya. Agama turut bertanggung jawab atas munculnya prasangka, walaupun terdapat aspek universal dari setiap agama dan ketika terdapat ikatan-ikatan keagamaan terbentuk, maka perasaan in group akan muncul dan menyebabkan setiap orang yang berada di luar lingkungan tersebut akan dianggap sebagai out group dan diperlakukan berbeda, bahkan tidak jarang dicurigai akan mengganggu ketahanan ikatan lingkungan tersebut, dalam konteks ini konflik dan perilaku kekerasan yang mengatasnamakan agama menjadi rentan untuk muncul.
Beberapa faktor penyebab konflik keagamaan bermulai oleh keadaan yang tidak rukun antar pemeluk agama yang berbeda:
Norma dan ajaran
Setiap anggota masyarakat mengalami sosialisasi primer yang berbeda, pengalaman, strata ekonomi dan tingkatan pendidikan. Ajaran yang didapatkan menghasilkan interpretasi yang diidealkan dan pengakuan bahwa interpretasinya yang paling benar sehingga menolak interpretasi dari kalangan lain.
Pemahaman
Setiap ajaran memberikan penafsiran dan pemahaman dan karena pemahaman dapat berbeda-beda, maka dari itu tindakan atau sikap dalam hubungannya dengan agama lain juga dapat berbeda. Perbedaan antar daerah yang mencolok antar daerah lainnya.
Sikap
Keadaan ini dihadapkan pada kondisi sosial yang nyata dalam masyarakat, adanya hegemoni politik oleh negara atau represi yang dilakukan kelompok.
Persepsi
Penilaian yang dalam hal ini diberikan terhadap agama lain baik mengenai gambaran umum, masyarakatnya ataupun yang dilakukan oleh kelompok agama tersebut. Konflik-konflik yang muncul antara pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya dapat berasal dari persepsi yang keliru maupun pandangan yang salah terhadap agama lain dan pemeluknya. Persepsi muncul setelah melihat dan memberikan penilaian terhadap kelompok agama lain yang dianggapnya merugikan agama atau kelompok mereka.
Referensi:
Ahmad, H. A. (Ed.). (2013). Survei nasional kerukunan umat beragama di Indonesia. Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Hermawati, R., Paskarina, C., & Runiawati, N. (2017). Toleransi antar umat beragama di Kota Bandung. Umbara, 1(2).