
Kemajuan teknologi sebagai sarana sosialisasi yang populis selain memperluas hak informasi secara positif, namun juga berdampak terhadap persoalan/kejahatan dalam dimensi baru. Hubungan dunia yang tanpa batas (borderless) tersebut menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Bisa dikatakan bahwa teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
Sebagai Langkah preventif terhadap hal itu, Indonesia sejak tahun 2008 telah mengesahkan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dalam perjalannya UU tersebut telah diubah menjadi Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), mengingat banyaknya praktik yang tidak sesuai harapan atas kehadiran UU ITE tersebut. Diketahui kelahiran UU ITE sedari awal bertujuan untuk mengatur fenomena pelanggaran hukum dalam transaksi perdagangan elektronik dan perbuatan baru dalam dunia cyberspace. Namun keberadaan keamanan, kepastian hukum dan pemanfatannnya menjadi tidak optimal, seiring dengan banyaknya perempuan menjadi korban yang setidak-tidanya atas kehadiran Pasal 27 Ayat (1) dan (3) Jo. Pasal 45 UU ITE tersebut.
Kehadiran kedua pasal tersebut tentang larangan distribusi, transmisi dan/atau membuat dapat diakses muatan kesusilaan dan pencemaraan nama baik menjadi alat pelaku untuk membungkam korban kekerasan berbasis gender dan seksual di dunia maya. Dalam kasus kekerasan berbasis gender dalam dimensi baru, atau yang biasa disebut dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), KBGO hadir dalam situasi dan dapat difasilitasi oleh teknologi, dengan maksud dan tujuan melecehkan, merendahkan, mengeksploitasi dan perbuatan intimidasi lain berdasarkan gender atau seksualitasnya. Dampaknya adalah perempuan rentan menjadi sasaran kekerasan dalam dunia cyber, seperti di situs website, blogs, kanal platform sosial media dan lain-lain.
Fenomena kekerasan baru ini muncul bukan saja terjadi di tingkat nasonal tetapi juga di tingkat internasional, di mana kekerasan yang dialami berkelindan dan sistematis, tanpa henti dan sering kali ditoleransi, bahkan terkesan diabaikan. Berdasarkan catatan akhir tahun (Catahu) LBH APIK Jakarta, bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 1.321 aduan yang masuk ke LBH APIK Jakarta. Angka tersebut meningkat drastis jika dibandingkan tahun 2020 yaitu sebanyak 1.178 kasus. Tercatat dari total pengaduan yang masuk, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 489 kasus, disusul kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, kekerasan dalam pacaran 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus.
Setidaknya, selama 5 tahun terakhir LBH APIK Jakarta melakukan pendampingan, KDRT menjadi kasus paling tinggi diadukan, namun situasi tersebut berbeda pada tahun 2021, bahwa kasus KBGO menjadi posisi tertinggi menggeser posisi KDRT. Hal ini dipengaruhi adanya kondisi pandemi Covid-19, di mana ruang lingkup interaksi semakin terbatas, budaya patriarki bergerak meluas melalui kanal interaksi virtual/online dan disaat yang sama sistem perlindungan dan keamanan bagi perempuan tidak berpihak kepadanya. Situasi ini memberi dampak negatif serius pada korban seperti reviktimisasi, kriminalisasi, kekerasan, intimidasi, dan bentuk kekerasan lainnya.
Berangkat dari situasi tersebut, LBH APIK Jakarta bersama tim peneliti memandang penting membuat kajian yang komprehensif dan speksifik, dengan harapan mengetahui dampak dari norma 27 ayat (1) dan (3) UU ITE dan sejauh mana implementasi yang dilakukan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE sepanjang tahun 2010-2021. Sekaligus mempertegas postulat apakah kehadiran pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE masih penting digunakan di tengah banyaknya perempuan menjadi korban atas kehadiran kedua pasal tersebut. Semoga kajian ini menjadi rujukan bagi Pemerintah dan DPR dalam melakukan revisi UU ITE.
Unduh kajian disini: