REPORTASE “PELUNCURAN KAJIAN DAMPAK UU ITE TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN: ANALISIS PASAL 27 AYAT (1) DAN (3) JO. PASAL 45 UU ITE”

 

[Jakarta, 29/09/2022], LBH APIK Jakarta bersama para peneliti dari IJRS, LBH Pers Safenet dan Komisoner Paripurna Komnas Perempuan melakukan peluncuran kajian dampak UU ITE terhadap Perempuan Korban Kekerasan, pada 29 September 2022 di Hotel Redtop Hotel & Convention Center, Jakarta. Acara ini dilakukan secara terbatas, mengingat situasi Covid-19 di Indonesia masih cukup tinggi, oleh karenanya LBH APIK Jakarta membuat peluncuran kajian dilakukan secara hybrid.

Turut terlibat juga hadir sebagai penanggap kajian dari Bareskrim Polri dan Kominfo. Sebelum sesi penanggap, terlebih dahulu LBH APIK Jakarta dan Para Peniliti memaparkan hasil temuan penting dari kajian tersebut. Di mana, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia naik menjadi 73,7 persen dari populasi atau setara dengan 196,7 juta orang (periode 2019-kuartal II 2020). Tahun 2021, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa atau 73,3% dari jumlah total penduduk Indonesia. Bertambah besarnya angka pengguna internet di Indonesia menyebabkan semakin tinggi juga kekerasan siber yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan di Indonesia.

Menurut Robi, selaku staff divisi perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, dalam laporan tahunan 2020, LBH APIK Jakarta menerima 1.178 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2021, terdapat 1.321 kasus dan kasus terbanyak ialah kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO). “Pandemi COVID-19 turut menjadi penyebab meningkatnya kasus KBGO karena mayoritas dari aktivitas sehari-hari dilakukan melalui gawai,” ujar Robi selaku perwakilan dari LBH APIK Jakarta.

Tak berbeda jauh dari LBH APIK Jakarta, Sri Nurherwati juga menegaskan hasil temuan kajian dimana, hingga saat ini UU ITE belum melindungi perempuan dan anak perempuan sebagai korban KGBO. Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan dan ayat (3) tentang penghinaan atau pencemaran nama baik justru digunakan sebagai alat pembungkaman kepada korban untuk menyuarakan keadilan melalui sarana digital. “Dampak Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE terhadap perempuan korban KBGO ialah ancaman kriminalisasi, pembungkaman, rentan eksploitasi, reviktimisasi, diskresi atau subjektivitas APH, serta dampak terhadap fisik, psikis, dan ekonomi korban KBGO,” tegas Komisioner Paripurna Komnas Perempuan.

Lebih lanjut, dalam temuan kajian, LBH APIK Jakarta menemukan beberapa tantangan yang dirasakan oleh korban ketika menggunakan UU ITE, seperti: (i) korban mengalami kesulitan pelaporan karena minimnya alat bukti dengan pola kasus yang rumit; (ii) korban mengalami ketakutan karena pelaku yang tidak dikenal telah mengancam penyebarluasan foto dan video; (iii) keterbatasan jumlah saksi dan ahli yang dapat mengaitkan KBGO dengan UU ITE; (iv) proses pembuktian harus menggunakan forensik digital padahal hingga saat ini alat untuk pemeriksaan lengkap hanya terdapat di Polda Metro Jaya sehingga proses berlangsung lama; serta (v) penentuan yurisdiksi tempat terjadinya tindak pidana yang tidak jelas.

Setelah melalui proses pengkajian ulang, LBH APIK Jakarta bersama peneliti merekomendasikan beberapa hal berikut:

  1. Menkominfo bersama aparat penegak hukum melakukan kajian untuk memperjelas makna kesusilaan menurut UU ITE dan memberikan definisi kesusilaan yang mempertimbangkan KBGO sebagai salah satu bentuk kekerasan yang mengkriminalisasi perempuan korban untuk melindungi perempuan korban dari kriminalisasi;
  2. Pemerintah dan DPR melakukan revisi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dengan merujuk kembali pada Konvensi Budapest dan mempertimbangkan Op CEDAW Tahun 2017;
  3. Pemerintah dan DPR melakukan kajian mendalam terhadap Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE: -       Menghapus Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE

    -       Mengisi Pasal 27 ayat (3) dengan mengadopsi seluruh rumusan pasal 310/311 KUHP ke dalam Pasal 27 ayat (3), tidak lagi hanya merujuk

    -       Ketentuan mempertegas dalam penjelasan terkait unsur kesenjangan, dengan maksud merendahkan martabat orang, untuk diketahui umum, dan pengubahan ancaman pidana menjadi 9 bulan penjara

    -       Dengan mengadopsi Pasal 310/311 KUHP, perlu ditambahkan ketentuan mengenai: (a) yang dapat melapor adalah hanya orang perorang atau individu bukan badan hukum atau pejabat dan badan/lembaga negara; (b) dalam penjelasan dipertegas untuk melindungi korban dan dalam konteks kepentingan pribadi atau privasi perlindungan dari ancaman kekerasan berbasis gender;

  4. Pemerintah dan DPR mendorong adanya pengaturan khusus tentang perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan seksual, baik secara konvensional maupun digital, melalui Revisi Undang-undang ITE karena karakteristik, ciri, dan dampaknya kekerasan berbasis gender memberikan risiko kepada perempuan korban dalam jangka panjang sehingga rentan mengalami hambatan pemulihan;
  5. Pemerintah mengkaji ulang dan memperkuat substansi SKB tentang Implementasi UU ITE Tahun 2021 yang mengedepankan; (i) edukasi kepada masyarakat mengenai penggunaan teknologi, media sosial dan elektronik sebagai sarana yang meningkatkan kesejahteraan; (ii) kesetaraan gender dan perlindungan terutama bagi perempuan korban kekerasan dalam penegakan hukum, pencegahan kriminalisasi perempuan korban akibat penggunaan sarana hukum melalui SKB yang permisif dan mengaburkan kekerasan terhadap perempuan;
  6. Mendorong Polri, Kejaksaan, Mahhkamah Agung dan Advokat melakukan pendidikan dan keterampilan khusus tentang kesetaraan gender dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sehingga mampu mengenali lapisan kerentanan perempuan korbran dalam implementasi pasal-pasal UU ITE sejalan dengan Perma 3 Tahun 2017 dan Pedoman Kejaksaan Agung Nomor 1 Tahun 2021.

Subscribe Text

Untuk selalu terhubung dengan kami