
(28/02/2023) - LBH APIK Jakarta dan Paralegal
Wilayah Depok mendatangi Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan
Pengendalian Penduduk Kota Depok dalam rangka melakukan dialog mendorong adanya
akses layanan yang komprehensif bagi perempuan dan anak korban kekerasan di
Depok. Sebelumnya sejak tahun 2019 Paralegal Depok sudah mendorong akses
layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan namun hingga saat ini Depok
(Jawa Barat) belum memiliki peraturan daerah terkait perlindungan perempuan
dari tindak kekerasan.
Menurut Dian Novita perwakilan dari LBH APIK
Jakarta, “dialog ini merupakan silaturahmi memperkenalkan adanya paralegal LBH
APIK Jakarta di wilayah Depok yang telah melakukan kerja-kerja pendampingan sejak
tahun 2018, menyampaikan situasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak, yang akan dijelaskan oleh para perwakilan paralegal dan LBH APIK
Jakarta serta mendiskusikan strategi Bersama untuk pencegahan dan penanganan
KTPA” ujar Dian saat membuka tujuan audiensi.
Dipaparkan oleh Liya Yuliana dari LBH APIK
Jakarta, Indonesia telah memiliki beberapa aturan progress mengenai pencegahan
dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, negara juga
berkomitmen menyediakan anggaran melalui Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN tahun 2020-2024
Perlindungan Perempuan dan anak masuk dalam program prioritas. Akan tetapi jika
melihat data kasus yang didampingi LBH APIK Jakarta pada tahun 2022 yakni
sebanyak 1512 kasus hanya 4% yang
masuk dalam proses litigasi selebihnya perempuan dan anak korban kekerasan
menempuh jalur non litigasi. Penanganan kasus KTPA masih mengalami hambatan
seperti kurangnya perspektif APH, alat bukti masih dibebankan kepada korban
(termasuk visum yang masih berbayar di wilayah Depok), minimnya akses layanan
bagi korban dan dukungan dari masyarakat.
Senada dengan Liya, Ermawati selaku perwakilan
paralegal menguatkan berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan di
Depok belum tersedia visum gratis dan
ketersediaan Rumah Aman. Jadi selama ini jika ada kasus kami dirujuknya ke RS
POLRI dan RSCM, ini terlalu jauh dari Depok dan menyebakan antrian yng menumpuk
di RSCM sehingga hasil visum keluarnya lama, rumah aman yang disediakan oleh
dinas social belum memenuhi kebutuhan korban kekerasan masih disatukan dengan
yang lain serta keterbatasan waktu. Selain itu masih terjadi pelabelan negatif
di tingkatan RW/RT kepada perempuan sebagai korban, ini menunjukan bahwa monitoring
pasca pelatihan Kelompok Kegiatan KDRT perlu ditingkatkan.
Nabil perwakilan pendamping dari LBH APIK Jakarta
menyampaikan “pentingnya Sinergi dengan institusi terkait lain untuk pencegahan
dan penanganan KTPA seperti dinas Pendidikan, Dinas sosial, Dinas tenaga kerja,
Dinas Dukcapil, Lembaga masyarakat sipil dan APH. Karena untuk menyamakan
persepsi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga komprehensif
mulai baik dari pencegahan, penanganan sampai pemulihan korban” terang nabil.
Dari paparan yang disampaikan oleh Paralegal dan
LBH APIK Jakarta di atas, kemudian kepala Bidang perlindungan anak yakni ibu
Ima Halimah menjelaskan saat ini Dinas sudah memiliki layanan pengaduan di 112
yang nanti akan dihubungkan langsung ke UPTD PPA. Selanjutnya ibu Mamik dari
UPTD PPA menambahkan sudah melakukan sosialisasi
terkait pelecehan atau kekerasan seksual terhadap anak, kasus ini dapat selesai
hanya dengan hukum, tidak ada jalan lain selain hukum. Bahkan, kami juga dapat
membantu melakukan penangkapan pelaku. Terkait anak sebagai pelaku Dinas
memiliki layanan penjangkauan kasus dan mediasi, sedangkan terkait layanan
rumah aman dapat diakses dengan cara melaporkan ke UPTD P2TP2A. Rumah
perlindungan akan tersedia keperluan pokok seperti makan selama 14 hari dan
dapat diperpanjang berdasarkan kegentingan kasus, untuk Visum sudah tidak
berbayar dengan ketentuan surat rekomendasi Polisi atau menjalin komunikasi
dengan UPTD P2TP2A, namun untuk kasus kekerasan seksual anak akan dirujuk ke RS
Polri.
Sebelum sesi akhir Ibu Dina dari Bidang Pencegahan menyampaikan Dinas memiliki program
untuk pemberdayaan ekonomi penyintas berupa pelatihan bagi penyintas seperti
pelatihan kuliner. Diharapkan dengan adanya pelatihan ini penyintas dapat
mengembangkan usaha dan berdaya secara ekonomi. Pelatihan ini diadakan setiap
tahun, ibu Dina juga menyampaikan paralegal dapat mendata penyintas dan
menyerahkan ke Dinas untuk mendapatkan pelatihan.
Di sesi penghujung acara, Dian Novita menegaskan bahwa sudah ada beberapa hal baik yang dilakukan, kedepanya seperti yang sudah disampaikan oleh pihak Dinas silahkan paralegal melakukan koordinasi dengan UPT PPA jika memerlukan rujukan visum gratis, psikolog, rumah aman, maupun pendataan untuk program pemberdayaan ekonomi penyintas. “Kami juga berharap semoga hasil diskusi ini dapat dipertimbangkan dan disampaikan saat penyusunan rencana kerja dengan Provinsi Jawa Barat” pungkas Dian. (LY)