
Perubahan pertama Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) masih memuat banyak pasal yang mencederai penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan HAM. Alhasil, penegakannya pun memakan banyak korban yang menyasar
ke semua kalangan, mulai dari ibu rumah tangga hingga pejabat publik.
Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta, dalam kurun 2010-2021 setidaknya ada 141
perempuan korban dikriminalisasi menggunakan Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE.
Sebanyak 60% korban dikriminalkan karena adanya pembelaan dari situasi ancaman dan
kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam
rumah tangga, eksploitasi seksual dan diskriminasi terhadap korban [Kajian LBH APIK
Jakarta, Dampak UU ITE Terhadap Perempuan, 2022].
Ada beberapa alasan penting untuk merevisi UU ITE. Pertama, ada situasi legislasi yang
memberikan dampak serius yang perlu diperhatikan terhadap revisi kedua UU ITE,
khususnya banyak pasal yang perlu diharmonisasikan dengan peraturan perundangundangan yang ada. Kedua, pentingnya memperhatikan substansi pengaturan informasi
dan transaksi elektronik dalam alam demokrasi. Ketiga, perlunya pengaturan khusus agar
tidak terjadinya upaya kriminalisasi terhadap korban.
Simak selengkapnya dalam Ringkasan Eksekutif Rekomendasi Revisi Kedua UU ITE