
(27/09/23) – Jaringan Masyarakat Sipil
yang diwakili oleh LBH APIK Jakarta, Safetnet, Siberkreasi, ICT Watch, SEJIWA, KOMPAKS, Forum Pengada
Layanan (FPL), Kumpulan Emak Bloger dan jaringan masyarakat sipil lainnya
melakukan audiensi dengan Direktoran Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kumham RI pada Rabu, 09 September 2023 lalu. Dalam pertemuan tersebut Jaringan
Masyarakat Sipil memaparkan pentingnya rancangan peraturan pemerintah (RPP)
tentang Pengaturan Penghapusan Konten Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik
sebagai bagian dari pelaksanaan UU No.
12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Aturan ini harus sejalan
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa bentuk kekerasan
seksual dan harus berpihak pada
pemenuhan hak korban.
Seperti yang dipaparkan oleh jaringan,
berdasarkan Riset “Jauh
Panggang dari Api: Menilik Kerangka Hukum Kekerasan Berbasis Gender Online di
Indonesia” menemukan fakta bahwa Indonesia belum memiliki peraturan khusus
mengenai KSBE. Indonesia sesungguhnya memiliki beberapa ketentuan hukum dapat
digunakan dalam pemidanaan KBGO dan perlindungan korban, seperti dalam KUHP, UU
ITE beserta aturan turunannya, UU Pornografi, UU Perlindungan Anak, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PERMA No. 3/2017, Pedoman
Kejaksaan No. 1 tahun 2021 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 Tahun 2007.
“Dalam KUHP,
UU ITE dan UU Pornografi, larangan perbuatan berorientasi pada pelarangan-pelanggaran
kesusilaan, yang dilindungi adalah moralitas publik, bukan integritas tubuh dan
data pribadi seseorang. Ketentuan kerangka hukum yang berorientasi pada
kesusilaan dan perlindungan moralitas publik cenderung bersifat diskriminatif
pada pengalaman korban KSBE sehingga korban mendapatkan kerugian berlapis atas
konten yang disebar oleh pelaku KBGO,” ujar paparan perwakilan dari Jaringan
Masyarakat Sipil.
Ditambahkan
juga, “Tanggung jawab Sektor Privat (Penyedia Sistem Elektronik/Perusahaan
Internet) juga harus diperhatikan, khususnya dalam PP No 71/2019 terkait Hak
penghapusan konten dalam bentuk penghapusan muatan atas penghapusan (right to
erase) dan dikeluarkan dari daftar mesin pencari (right to delisting),
Permenkominfo No 20/2016 khususnya dalam “Hak untuk Dilupakan” untuk Korban
KBGO atas data pribadi yang tersebar di media sosial, KKMA No
No.144/KMA/SK/VIII/2007 khususnya pada “Hak Melakukan Pembatasan atau
Pemblokiran Informasi” untuk korban KBGO atas data pribadinya yang tersebar di
mesin pencari, dan Perma 3/2017 khususnya pada Pengaturan mengatasi kasus yang
melibatkan perempuan di pengadilan”, tegas paparan persoalan yang disampaikan
oleh jaringan.
Selain itu,
perwakilan lain juga menyoroti soal pengaturannya yang menitikberatkan kewajiban
platform/ penyedia layanan elektronik untuk menyediakan dan mempercepat
mekanisme dalam penurunan konten KSBE, bukan mengatur mekanisme pelaporan ulang
dari korban yang sudah diberikan contoh dari berbagai negara. Kemudian juga
menyoroti tentang peran kementerian dan otoritas adalah memberikan
notifikasi/perintah kepada platform/penyedia layanan elektronik untuk
percepatan penindaklanjutan laporan penurunan konten KSBE dan penggunaan data
retensi penyimpanan data KSBE untuk kepentingan korban dan proses hukum.
Setelah
paparan persoalan disampaikan kemudian Robi perwakilan dari LBH APIK Jakarta
juga menegaskan bahwa dalam Pasal
68: “Hak Korban atas Penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1)
huruf a meliputi: [...] g. hak atas penghapusan konten bermuatan seksual
untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik”. Kemudian Pasal 70
ayat (2): “Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan meliputi: [....….] l. hak atas penghapusan konten
bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan sarana elektronik.”
Kemudian Pasal 46: “Pemerintah Pusat
berwenang melakukan penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan SeksuaI.”
Dan Pasal 47: “Demi kepentingan umum, jaksa dapat mengajukan permintaan kepada
ketua pengadilan negeri untuk memerintahkan kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika menghapus informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan
Seksual”.
Pasal tersebut di atas menegaskan
bahwa ada 2 (dua) kewenangan penghapusan dan pemutusan akses informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik KSBE yakni pemerintah dan aparat penegak hukum.
Jika melihat amanat dalam beberapa pasal tersebut, penting memastikan keselarasan Pasal 61 dan 71
terkait pihak-pihak pelaksana dan tugas maupun fungsi pemerintah/apparat
penegak hukum, memastikan hak korban untuk mendapatkan informasi atas mekanisme
yang berlangsung atas pelaporannya serta juga memastikan seluruh mekanisme yang
berlangsung sesuai dengan standar keamanan sistem elektronik dan pelindungan
data pribadi, atau perundang-undangan yang berlaku dan berpihak kepada korban.
Setelah paparan selesai, kemudian Wahyudi
dari Dirjen Kumham RI mengapresiasi masukan signifikan dari teman-teman
jaringan untuk RPP Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Menurutnya, bahwa
RPP yang akan diatur nanti harus mengedepankan prinsip kepentingan korban,
memangkas panjangnya rantai birokrasi mengenai penghapusan/pemutusan konten
memenuhi hak korban, melakukan Prinsip percepatan penanganan, mendorong prinsip
kehati-hatian dan pengurangan kewenanganan. Lebih lanjut menurutnya, “Semakin
banyak kanal dibuka, semakin banyak permohonan penanganan dari mana saja bisa
dilakukan untuk kepentingan terbaik korban,” tegas Wahyudi dalam menjawab
kepentingan terbaik korban untuk KSBE.
Kemudian beliau menegaskan bahwa sudah
sedikit banyak perubahan dalam Draf RPP UU TPKS terkait mekanisme penanganan
hak korban. Untuk penghapusan konten digital diatur secara lebih spesifik,
siapa yang dapat melaporkan, kepada siapa melaporkan dan ditunjukkan kepada
siapa. Dalam hal substansi, saat ini RPP sedang mengatur administrasi terkait
kementerian atau lembaga mana saja yang dapat terlibat. “Saat ini terdapat
beberapa catatan dari K/L yang kami coba rumuskan, kami coba bahas dalam waktu
kurang lebih satu minggu kedepan dan melaporkannya ke K/L yang terlibat; apakah
sesuai dengan tugas dan fungsi dari K/L serta kemenkumham sendiri.Terkait
dengan kewenangan 3 lembaga; polisi, kejaksaan dan pemerintah pusat, perlu
dipertimbangkan kewenangan masing - masing lembaga sehingga bisa dipisahkan
fungsi dan perannya. Ini juga menjadi kesulitan kami”, ujar Wahyudi saat
menyampaikan perkembangan kepada teman-teman jaringan.
Disesi akhir audiensi kemudian jaringan masyarakat sipil menyerahkan kepada Dirjen PP Kumham RI yakni beberapa kajian penting untuk mendukung penyusunan RPP agar berpihak kepada korban, salah satunya adalah kertas kebijakan tentang Urgensi Pengaturan Penghapusan Konten Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik yang Berpihak Pada Pemenuhan Hak Korban, Riset tentang Jauh Panggang dari Api: Menilik Kerangka Hukum Kekerasan Berbasis Gender Online di Indonesia dan kajian lainnya. Kajian tersebut ditulis berdasarkan pengalaman, fakta dan temuan jaringan ketika mendampingi korban KSBE yang sangat penting diperhatikan oleh Kemenkumham ketika melakukan harmonisasi RPP pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. ** (RB)